Iyaaaaaa, saya jadi jarang apdet sekarang… Bukan kekurangan ide juga sih, ide banyak. Tapi palingan cuma ditulis di draft sekenanya lewat BB atau iPhone saya, lalu semangat nulisnya ilang. Akhirnya draftnya masuk trash bin Bukan juga gara-gara twitter atau quora atau apa lah itu yang lagi hitz dan saya cuma numpang bikin akun doang. Ngga kok. Nge-tweet juga jarang. Saya ini sedang sibuk bekerja… serius deh, selain itu emang bukan tipe bawel di twitter. Bukti-nya jumlah tweet saya ngga sampe puluhan ribu kayak para seleb tweet itu – ya yaaaa… ini #pencitraan.
Month: January 2011
Saya adalah…
The whole purpose of places like Starbucks is for people with no decision-making ability whatsoever to make six decisions just to buy one cup of coffee. Short, tall, light, dark, caf, decaf, low-fat, non-fat, etc. So people who don’t know what the hell they’re doing or who on earth they are can, for only $2.95, get not just a cup of coffee but an absolutely defining sense of self: Tall. Decaf. Cappuccino.
(Joe Fox, from You’ve Got Mail)
———-
Gara-gara maenan three word me, malah jadi keinget quote itu… eaaaaaaa
So, how you see your self? Kalian berpikir seperti kalian di mata orang-orang atau punya konsep sendiri dalam menilai diri sendiri? Bagus sih punya konsep sendiri, ga gampang depresi, tapi kalo ke-pede-an juga malah menjatuhkan harga diri ga sih? Mesti denger-denger juga apa kata orang.
Kalo belum punya konsep, mungkin sarannya Joe Fox di atas bisa dipake. Silahkan pergi ke coffee shops favorite kalian. Mungkin bisa jadi dapet konsep.
Buat saya sih, selalunya Grande (hasil upsized gratisan dari CC ), decaf, Frappuccino.
#kode
Coklat Vanilla
Mereka berjalan beberapa meter di depan saya, tampaknya saling berpegangan tangan. Percakapan mereka sungguh menarik, dan saya bisa mendengar semua yang mereka katakan meskipun saya tidak benar-benar niat untuk mendengarkan percakapan mereka. I’m not spying on them as well… cuma kebetulan berjalan ke arah yang sama saja.
Mereka berhenti di depan sebuah toko es krim. Ntah kenapa saya tidak bisa melarang otak saya untuk berpikir “tawarin pacar mu sesuatu dari situ, be a gentleman!”. Aduh otak saya sungguh nakal!
Tapi toh ternyata si laki-laki memang memutuskan mengajak perempuannya masuk ke dalam toko itu. Saya tersenyum dan bertepuk tangan diam-diam di balik kantong cardigan saya. Saya tidak lagi bisa mendengarkan apa yang mereka perbincangan ketika saya melintasi toko es krim yang sama kecuali satu kata “mau coklat atau vanilla?“.