
Di dunia ini ngga ada hal yang gratis. Ntah kapan saya mulai percaya kata-kata itu. Bahkan untuk bisa “hidup” pun saya merasa selalu ada harga yang harus saya bayar.
…that you don't know what you've got 'til its gone

Di dunia ini ngga ada hal yang gratis. Ntah kapan saya mulai percaya kata-kata itu. Bahkan untuk bisa “hidup” pun saya merasa selalu ada harga yang harus saya bayar.
Mereka berjalan beberapa meter di depan saya, tampaknya saling berpegangan tangan. Percakapan mereka sungguh menarik, dan saya bisa mendengar semua yang mereka katakan meskipun saya tidak benar-benar niat untuk mendengarkan percakapan mereka. I’m not spying on them as well… cuma kebetulan berjalan ke arah yang sama saja.
Mereka berhenti di depan sebuah toko es krim. Ntah kenapa saya tidak bisa melarang otak saya untuk berpikir “tawarin pacar mu sesuatu dari situ, be a gentleman!”. Aduh otak saya sungguh nakal! ![]()
Tapi toh ternyata si laki-laki memang memutuskan mengajak perempuannya masuk ke dalam toko itu. Saya tersenyum dan bertepuk tangan diam-diam di balik kantong cardigan saya. Saya tidak lagi bisa mendengarkan apa yang mereka perbincangan ketika saya melintasi toko es krim yang sama kecuali satu kata “mau coklat atau vanilla?“.
It’s better safe, or sorry?
Sumpah, susah bener menjawab pertanyaan itu. Ada moment-moment di mana saya memilih “selamat” dari pada “menyesal”. Tapi ada pula yang namanya “taking a risk“. Saya pernah mengajukan satu pertanyaan retoris di twitter : What is worse – Making a big mistake in life, or living the rest of your life saying “if only“? Kebanyakan sih merespon dengan living the rest of your life saying “if only.” Kenapa bikin kesalahan terbesar dianggap lebih baik? Rata-rata menjawab, karena “kesalahan” cenderung termaafkan seiring dengan berjalannya waktu kita memperbaikinya, tapi “menyesal” – ya seperti pertanyaan saya itu – bisa seumur hidup mempertanyakan “kalau saja”. Well, that’s what it’s call : taking a risk.
Seorang teman bertanya kepada saya, kalo kamu dijanjikan sebuah jawaban yang jujur, kira-kira pertanyaan apa yang akan kamu tanyakan? Saya terdiam, kemudian tertawa. Kok seperti pertanyaan yang mengarah pada jawaban-jawaban narsis. hihihihihi…
Soalnya, serius deh, saya pikir kalo saya sampe pengen banget dapet jawaban atau pendapat yang jujur tentang sesuatu, it’s going to be on something to do with me, am I rite? ![]()
pertanyaan apa?
T.S. Eliot pernah menulis begini:
“What we call the beginning is often the end. And to make an end is to make a beginning. The end is where we start from.”
Satu kalimat yang pernah saya baca dan langsung menempel di benak saya kala itu: kalimat Eliot tersebut seperti menggabungkan antara keputusasaan dan harapan, tetapi tanpa sebuah win-win resolution. Kalimat yang sempat membuat saya berpikir, bukankah memang itu lah hidup ini seharusnya? Bukankah setiap menit akan berakhir dan menjadi awal dari sesuatu yang lain, fase lain dalam hidup kita, atau malah kita yang lain?
Sekerat Cerita Penanda
It's a good time to have a random chit-chat
milly bagi2 cerita
A Blog of Disty Julian
not a food blog
Just another WordPress.com site
my life and journeys
Perjalanan memberi kita kesempatan untuk mulai dari awal lagi... dan menjadi kepribadian baru" Semakin gelap malam... semakin dekat dengan fajar...
Travel Stories