Ah bukan, saya tidak mau bercerita tentang mengejar impian saya. Itu judul film, saudara-saudara sekalian… Ya, judul film, yang disutradari Nia Dinata.
Sesuai dengan brief undangan yang saya terima minggu lalu dari Sampoerna Foundation, film ini bercerita tentang 5 orang remaja yang hampir lulus SMP dari kalangan masyarakat pra sejahtera dan terancam putus sekolah karena keterbatasan biaya. Tersebutlah Nuning, Tika, Cahya, Aang dan Rahmatillah, dengan latar belakang yang berbeda-beda – anak tukang cilok, tukang becak, pemulung, supir kapal nelayan dan bahkan ada yang anak yatim dengan ibu yang kerja serabutan. Tapi mereka anak-anak hebat. Aang. contohnya. Biarpun berasal dari kota kecil di sudut Jawa Timur sana, dan satu-satunya perangkat elektronik di rumahnya hanya lah radio, Bahasa Inggris-nya jago banget! Bahkan terpikir untuk selalu mendengarkan siaran Voice of America dari radio-nya itu. Edan.
Atau ada lagi yang namanya Tika, pintar main organ dan gitar. Tadi-nya saya skeptis. Lah katanya ga mampu, kok bisa belajar organ dan gitar segala? Ngga taunya organ dan gitar-nya pinjaman dari gereja tempat dia biasa beribadah, dan dia belajar secara otodidak. Ngga pake guru, apalagi kursus di tempat mahal. Aduh keren!
dan dikisahkan, mereka berlima, berjuang keras mendapatkan satu kursi beasiswa dari Sampoerna Academy di SMA 10 Malang, demi cita-cita melanjutkan sekolah. Belajar mati-matian, bahkan menempuh perjalanan sekian belas jam naek kapal dan bus untuk sampe ke Malang dari kota mereka berasal.
Apakah mereka semua berhasil? Sayangnya ini kisah nyata, bukan film rekaan. Yang namanya perjuangan ada yang berhasil, ada yang gagal. Yang paling bikin sedih adalah mereka yang gagal, bukan karena mereka ngga pintar dan ngga punya potensi, tapi lebih karena keterbatasan dana dari donatur-donatur, sehingga terpaksa “bangku sekolah” untuk mereka ditiadakan.
Dalam hati saya menyumpah-nyumpah film ini. Karena film ini membuat mata saya berkaca-kaca sepanjang pemutarannya sekaligus merasa malu pada diri saya sendiri. Saya dengan segala fasilitas yang saya dapat dari orang tua saya ketika saya SMP ternyata membuat saya manja, dan keras kepala. Mau-maunya sendiri. Padahal mau ngapain aja, tinggal sebut. Mau belajar piano, dikasih kursus, dibeliin piano. Tapi saya pembosan. Cuma pengen kerennya doang. Lalu berdebu lah piano itu. Sementara di ujung sana, ada anak-anak lain yang pengen banget belajar macem-macem tapi terpaksa cuma mimpi. Aduh, sumpah saya malu.
Sampoerna Academy sendiri baru ada di dua lokasi. Malang dan Palembang. Ya ya.. saya juga baru tau soal sekolah berasrama ini. Informasi mengenai segala macam programnya bisa di lihat di sini. Mau jadi donatur? Terbuka banget. Masih banyak anak-anak lain yang terancam atau bahkan putus sekolah di Indonesia kita tercinta ini. Mungkin yang bisa kita sumbangkan ga banyak, tapi kalo bareng-bareng, kita bisa bikin perubahan kan?
Ah iya, jadi inget dua perempuan cantik yang semalam juga terisak-isak di sebelah saya waktu nonton film ini. Mereka dan gerakan mereka, bikin saya senang jadi bagian dari situ. *peluk-peluk Hanny dan Nia*
Eh saya ngga tau film ini bakal diputar di bioskop atau tidak, lah wong cuma 47 menit gitu filmnya. Tapi kalo ga salah bakal road show ke kampus-kampus dan sekolah-sekolah di tujuh kota. Saya lupa kota mana aja sih… Buat yang penasaran mungkin bisa liat teaser berikut.
—-
PS : Astrid dan Lukito, terima kasih banyak atas undangannya! Ayo dong kalian pada nge-blog…
nulisnya juga sambil mata berkaca-kaca ini ya.. 😥
aduh saya cengeng.
LikeLike
dokumenter gitu ya mbak ? hmm, jadi penasaran pengen liat
LikeLike
semi dokumenter… kayaknya sih bakal roadshow ke Surabaya juga.. ditunggu aja info-nya Fen 🙂
LikeLike
HHmmm
Saya kok ndak dengar ada film ini yak …
Ini kisah nyata ya ChiC …?
wah dimana ya saya bisa dapatkan ?
Cari aahhh …
Salam saya ChiC
LikeLike
Nyata senyata-nyata-nya Opa
oh ya, Opa mungkin cari-cari dengan informasi orang dalam. Masih satu nama kan biarpun udah ga se-grup..
hihihihi 😛
LikeLike
wah, cari pilemnya ah..
biar bs ikutan berkaca2 mata saya 🙂
LikeLike
*sodorin kaca*
LikeLike
Pingin nontooon juga..
LikeLike
tunggu ya Yun, siapa tau diputer lagi 😀
LikeLike
keep our spirit to chase our DREAMS ! 🙂
LikeLike
errrrrr… tampak hanya sekedar tulisan… hihihihi
*lari-lari kecil*
LikeLike
Ah sayang sekali ya, tunas2 negeri yg berkualitas itu, lagi2 layu sejenak hanya karena soal biaya 😦
Kita memang pantes malu, makcik 😥
LikeLike
tapi ya sekedar malu saja ngga cukup Om… ditambah berbuat sesuatu pasti lebih oke
LikeLike
bagus,
saya tunggu perbuatan anda, makcik
*eh
LikeLike
“…anak tukang cilok, tukang becak, pemulung,…”
lama saya ndak mendengar kata “cilok”, eh artinya mencuri bukan?
LikeLike
laaaah tak pikir itu jajanan khas Ngalam e Pat, secara syutingnya di Malang.. Lah kok dirimu malah ga tau? 🙄
LikeLike
Gw gak suka film sedih, apalagi true story.. Malu kalo ketauan mewek. 😦 btw @epat: cilok = aci dicolok, sejenis jajanan berbahan dasar kanji
LikeLike
ah emang cowok ga boleh mewek gitu chanx?
LikeLike
anjrit,,, baca tulisan lo gue berkaca-kaca lagi chi… *ngembeng*
— butuh pelukan…
makasi yaa Chi udah dateeeeng…
mudah2an blog satuduatiga gue bisa idup lagi.. bahahaha.. *malu*
LikeLike
astriiiiiid itu banyak yang kepengen nonton jugak! Ayo diputer lagi film-nya. Khusus blogger!
*menyampaikan aspirasi teman-teman*
LikeLike
ga mau nonton kalo sedih begini mah, malu malu malu pun *ngurek-ngurek tanah di pojokan*
LikeLike
ah malu kenapa? malu itu kalo kita cuma sekedar nangis trus ga berbuat apa-apa, baru boleh malu
LikeLike
SMA 10 itu dulu deket sekolahku!
Program ini kalo ga salah udah mulai sejak diriku masih di SMA juga deh.. Ada skrinsyut diriku nampang ga Chic? *digampar*
LikeLike
ealaaah jib! kepedean amat sih kamu! lulus kapan juga kok ga ngarep skrinsut di situ.. 😈
*keplak*
LikeLike
Film Nia Dinata biasanya bagus, jadi pengen nonton. Salam blogger
LikeLike
oh kemaren itu matanya sebab karena abis nangis yak mbak? hehehehe….
ini film dokumenter yang inspiratif. sebagai film dokumenter apalagi tentang dunia pendidikan, jelas sy suka ma jalan cerita film ini. Apalagi film yang ngomongin soal pendidikan kan gak banyak. lebih banyak film horor di bioskop-bioskop. Apalagi skr dibumbui dengan bintang porno segala.
Yang jelas, film dokumenter ini, patut diapresiasi.
sayangnya, (menurut ku lho. dan ini bisa saja salah) Nia Dinata kurang banyak mengulik sisi kemanusiaan anak-anak ini. Nia gak bisa ngerem, ketika dirinya harus bercerita tentang putera sampoerna foundation.
Nia seolah terjebak dalam program-program yang disodorkan PS Foundation. kalau saja Nia mau ngerem dikit, dan lebih banyak ngulik sisi kemanusiaan film ini, pasti akan banyak air mata yang terkuras. dan tujuan mereka untuk membuka orang-orang di kalangan menengah atas untuk membantu remaja indonesia jadi lebih tersampaikan. Porsi program menurutku terlalu banyak, alhasil jadi mirip film promosi (terlepas film ini dibiayai PS Foundation dan kalyana shira)
sekali lagi, film dokumenter ini layak untuk di apresiasi.
yang mau nonton, film ini akan di putar di kampus-kampus, komunitas, pusat kebudayaan di lima kota besar di INdonesia. JKT, Surabaya, Palembang, Denpasar, Yogyakarta.
LikeLike
Jangan pada sedih donk! tetap ceria, heee
LikeLike
wohh adeknya temenku ada yg dapet beasiswa sekolah di situuu…woh..syutingnya nggak pas aku masih sekolah di sana ajah sih..padahal sering banget makan buryam deket situh >.<
LikeLike
wahwah….keren….
btw salam kenal ya….
LikeLike
filmnya bagus…!!!
Aq malah lebih sedih krn banyak anak2 disekitar lingkungan rumahku yang malahan pada males sekolah dan akhirnya berhenti krn persoalan sepele padahal orang tua mereka mampu. Pasti mereka bakalan nyesel nantinya
LikeLike
Ini bisa jadi motifasi yang baik untuk kita.
LikeLike
aku malah belum sempet nulis soal ini, mak chic! 😀 hadeuuuh *berkaca-kaca* 😀
LikeLike
sangat inspiratif dan patut ditonton…
LikeLike