Berbagi, tukar pikiran

Kebutuhan dan Hak Perempuan Bekerja

Selasa tanggal 10 Mei 2011 yang lalu, di Obrolan Langsat alias Obsat, ternyata dibahas mengenai kebutuhan dan hak para perempuan yang bekerja. Hari gini sih perempuan yang memiliki dua peran: bekerja dan menjadi ibu sudah sangat lazim ditemukan. Sebuah tema yang menarik, sayangnya saya waktu itu tidak sempat hadir karena harus menjadi pembawa acara di deklarasi komunitas Asean Blogger – Indonesia (cerita soal ini nanti saya bahas di postingan lain, kalo ga lupa :mrgreen: ).

Berhubung saya ngga sempat hadir ke situ, dan merasa tema ini sangat menarik. Saya jadi pengen ikut ngebahas ah… 😀

Beberapa bulan yang lalu, seorang teman menghubungi saya. Jadi ceritanya, dia baru saja melahirkan, lagi seneng-senengnya punya anak, lalu tiba-tiba masa cuti hamil hampir segera berakhir. Si teman ini dihadapkan pada dilema harus meninggalkan si bayi kepada pengasuh, which is kayaknya kok ngga rela karena belum terlalu percaya dan belum terlalu pas dengan si pengasuh, atau resign dengan risiko kehilangan pendapatan double, karena tinggal pendapatan suami yang bisa dipake, dan mesti mengurangi beberapa pos kebutuhan supaya bisa cukup untuk sebulan, yang sebenarnya sih ngga cukup-cukup amat.

Waktu itu jawaban saya mungkin sungguh sangat tidak memuaskan buat si teman. Karena saya menyuruhnya balik bertanya ke diri sendiri, nyamannya yang mana. Lebih nyaman tinggal di rumah alias resign, atau lebih nyaman bekerja kembali. 😆 Karena buat saya, harusnya si Ibu sendiri lah yang tau mana yang terbaik. Cara saya mengasuh anak dan cara teman saya mengasuh anak, pasti berbeda. Yang terbaik buat saya, ya belum tentu terbaik buat si teman. :mrgreen:

Saya sendiri, waktu sehabis melahirkan Vio, bukannya tidak dihadapkan pada dilema yang sama. Hanya saja, waktu itu pilihan saya adalah kembali bekerja karena pertimbangan jarak rumah-kantor yang tidak terlalu jauh sehingga saya bisa dengan cepat pulang ke rumah kalo ada apa-apa dengan Vio, ruangan kantor yang nyaman buat saya memeras asi, tersedia kulkas dengan kondisi baik sehingga saya bisa menyimpan asi peras saya sampai pulang kantor nantinya.

Mungkin saya dan teman saya tidak akan terlalu mengalami dilema untuk meninggalkan si bayi di rumah kalo saja setiap perusahaan menerapkan hasil dari Peraturan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi, Dan Menteri Kesehatan Nomor 48/Men.Pp/Xii/2008, Per.27/Men/Xii/2008, Dan 1177/Menkes/Pb/Xii/2008 Tahun 2008 Tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja Di Tempat KerjaOutput dari SKB ini sebenarnya perusahaan seharusnya menyediakan Ruang Laktasi di tempat kerja. Hanya saja setelah saya baca dengan seksama SKB ini, pada pasal 3 ayat 2 hanya mengatur hal sebagai berikut :

(2) Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi bertugas dan bertanggung jawab:

  1. mendorong pengusaha/pengurus serikat pekerja/serikat buruh agar mengatur tata cara pelaksanaan pemberian ASI dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama dengan mengacu pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan
  2. mengkoordinasikan permasyarakatan pemberian ASI di tempat kerja.

Hanya mendorong? Bukan keharusan. 🙄 Tidak ada sanksi apapun untuk perusahaan yang tidak menyediakan tempat baik dan layak untuk melakukan laktasi. No wonder masih ada saja perusahaan yang tidak melaksanaan SKB ini, malah cenderung cuek. Menyedihkan ya? 🙄 Coba kalo keharusan ini mempunyai sanksi yang bisa diterapkan bila tidak dipenuhi oleh perusahaan, mungkin kita para Ibu yang bekerja ini tidak mengalami dilema berkepanjangan menentukan harus resign atau tetap bekerja. Lebih oke lagi kalo si perusahaan menyediakan juga ruangan laktasi sekaligus tempat si bayi beristirahat. Kan Ibu jadi lebih tenang bekerja karena sang buah hati berada dekat dengannya. Kayaknya perusahaan malah lebih untung kan ya karena si Ibu ga bolak-balik minta izin pulang atau malah ga masuk karena si bayi kenapa-kenapa. :mrgreen: 

Selain kebutuhan dan hak mengenai menyusui, perempuan yang bekerja mempunyai kebutuhan khusus dan hak-hak yang dijamin oleh Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003. Hak dan kebutuhan tersebut antara lain adalah :

  1. Cuti haid pada hari pertama dan kedua haid bila merasa sakit yang tidak memungkinkan untuk bekerja – Pasal 81
  2. Cuti melahirkan selama 3 bulan – Pasal 82 ayat 1
  3. Cuti keguguran selama 1,5 bulan atau atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan – Pasal 82 ayat 2
  4. Hak untuk menyusui bila punya anak yang masih bayi – Pasal 83 

Lumayan ya? 😀 Siapa yang belum tahu kalo kita boleh cuti di hari pertama haid? Ini diluar cuti tahunan looooh.. Jadi, silahkan minta cuti haid kalo memang ngga memungkinkan untuk bekerja. Dan silahkan protes kalo cuti kalian dihitung mengurangi cuti tahunan. 

Kalo ngga dikasih? Lagi-lagi saya tidak menemukan adanya sanksi untuk perusahaan yang tidak menerapkan pasal-pasal tersebut di atas. Satu-satunya yang mempunyai adalah untuk pelanggaran pasal 82 (cuti melahirkan dan keguguran) dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.00,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupah). Untuk pasal 81 dan 83, tidak ada sanksi apapun. Menyedihkan ya? 🙄

Berdasarkan informasi yang saya dapat dari hasil Obsat kemaren, katanya PT. Sari Husada termasuk perusahaan yang sadar akan hak-hak perempuan pekerja. Sari Husada memiliki Ruang Laktasi, kulkas untuk menyimpan ASI dan kurir untuk mengantar ASI karyawan ke rumah. Sari Husada juga memberikan cuti selama 4 bulan untuk karyawannya yang melahirkan. Weew keren yaaaa.. Apa pindah kantor aja ya? :mrgreen: *cari lowongan di SH*

Well, seandainya semua aturan ini diterapkan dengan baik dan benar oleh para perusahaan itu, kita para perempuan yang bekerja ini ngga akan mungkin dihadapi rasa galau ngga jelas soal mengasuh anak. Jadi Ibu sambil bekerja itu berat ya? :mrgreen:

Mari kita perjuangkan… 🙂

—–

gambar pinjem di sini.

31 thoughts on “Kebutuhan dan Hak Perempuan Bekerja”

  1. seandainya semua peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah itu bisa dilaksanakan dengan baik oleh semua perusahaan yang ada di kita mungkin ini akan membantu mengurangi dilema ibu pekerja. saya sendiri memilih berhenti bekerja karena anak saya membutuhkan perhatian khusus yang rasanya sulit kalau didelegasikan kepada orang lain…

    Like

    1. budaya orang-orang sini (baca : perusahaan-perusahaan sini), kalo ga ada punishment ya cuek aja. wong yang jelas-jelas ada punishment-nya aja banyak yang melanggar kok selama ada duit. 😛

      Like

  2. peraturan pemerintah kita sepertinya banyak yang hanya mendorong ya… bukannya mengharuskan… jadinya ya seperti yg mba chic bilang, banyak perusahaan yang cuek aja gak mengikutinya, secara cuman di dorong/dihimbau…

    padahal kan lebih enak buat si ibu bila bayi nya boleh di bawa (at least pas masih masa menyusui)

    😀

    Like

  3. dijadiin suatu gerakan aja chic, let say gerakan via twitter. ak pikir cukup banyak (terutama) wanita di dunia twitter yg mau support gerakan ini 🙂

    Like

  4. sore mak chick (melayu mode on) hehehe.. tergantung perusahaannya sih. Kadang ada perusahaan yang berbaik hati memberi cuti satu hingga dua bulan untuk memberi kesempatan pada karyawan2 wanita yang baru saja melahirkan tapi tetap dapat gaji pokok bulanan selama dua bulan. Baiknya sih the first two or three months pasca melahhirkan, wanita karir itu stay dulu di rumah untuk ngerawat si bayi untuk mengukuhkan hubungan psikologis yang erat antara ibu dan anak bayinya. Kalau udah masuk bulan ke empat aku rasa udah oke kok untuk bekerja kembali.

    Like

    1. harusnya sih bisa Mas, beneran cuma dapet dua bulan? 😯

      ada sih perusahaan yang nerapinnya gini : 1,5 bulan di awal kehamilan, dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Tapi sih kebanyakan pengennya 3 bulan di belakang aja setelah kelahiran.

      Ya mau bagaimanapun pengaturannya intinya harus tetep 3 bulan. Kecuali mungkin si perusahaan butuh banget sama si karyawan dan memberikan kompensasi-kompensasi untuk cuti yang tidak diambil itu.

      Like

      1. PNS cuma punya cuti tahunan 12 hari (yang sering kepotong cuti bersama), cuti karena alasan penting (diantaranya pernikahan pertama, orang tua/anak meninggal), cuti melahirkan, cuti besar (biasanya untuk naik haji), dan cuti di luar tanggungan negara (alias jadi PNS cadangan, ndak dapet gaji)

        cuti haid? ndak pernah denger tuh 😆

        Like

  5. tapi kalau ane pribadi lebih suka kalau cewe enterprenuer soal’a supaya punya bekal dasar untuk memulai suatu titik awal keberhasilan supaya lebih dihargai kaum wanita sama kaum pria 🙂

    Like

  6. Setiap bulan kita boleh cuti 2 hari…saat haid
    Chic, semua itu seperti pisau bermata dua…
    Tapi yang penting pemerintah menjamin hak kaum pekerja perempuan.

    Di satu sisi (pengalaman dan juga melihat keadaan seleililing),
    Jika perempuan mau sukses, atau karir sama seperti teman sepantaran, maka harus menunjukkan kinerja dua kali lipat, baru menduduki jabatan yang sama. Apalagi jika kita selalu menggunakan hak kita untuk cuti bulanan, walau termasuk calon, tapi akan dipilih orang lain. Nahh bagaimana bisa berkinerja baik, jika setiap kali libur atau cuti?

    Menurut saya, bagi kaum perempuan, seperti halnya saya sendiri, setiap kali mesti memilih, apa yang sesungguhnya kita inginkan. Ada yang harus dikorbankan…saya, saat anak-anak kecil, memilih lebih menekankan pada keluarga, dengan risiko karir flat….setelah mereka besar, remaja, barulah saya mau ambil tawaran saat ditawari kedudukan. Risikonya..pergi pagi buta, pulang nyaris tengah malam……sama dengan kaum pria yang lain pada bidang yang sama. Dalam karir tak ada bedanya, punya target yang harus dicapai, jika punya jabatan tanggung jawab berlipat….

    Like

  7. Perempuan bekerja bolh sja, asal itu brtujuan mmbantu suami,tpi syang trnyata bnyak suaminya kaya dan bsa mmnuhi smua kbtuhan istrinya,msh ada wanita/istri yg bkrja shingga mlupakan kewajiban mngasuh anak dan mngurangi pngabdian kpada suami

    Like

Leave a comment