Curhat Colongan, just a thought

To Another Decade

Desember kemarin sempat liat postingan photo beberapa teman di sosmed soal beginning of the decade to end of the decade. Semacam #10yearschallenge yang sempet happening kemarin. Wow 10 tahun. Bukan waktu sebentar. Postingan yang membuat saya jadi ikut membongkar photo-photo lama saya, mencari sesuatu yang bisa saya posting. Tapi ngga jadi. Buka IGStory setahun terakhir aja ngga berani – terlalu banyak jatuh, bangun, patah hati dan air mata di sini, apalagi menguatkan diri memposting perjalanan saya selama 10 tahun terakhir.

Lalu perjalanan akhir tahun yang saya lakukan pekan kemarin, membuat saya menyadari sesuatu. We tend to take everything for granted.

Well yeah, that is not “we”. I do. Hahahaha.

Mungkin karena sudah terbiasa. Rutinitas. Matahari terbit dan tenggelam, orang-orang di sekitar, gedung-gedung, warung kecil yang selalu dilewati setiap hari, belokan jalan yang itu-itu saja, kemacetan yang standar, rumah, your other half. Semua berjalan sesuai waktunya, kondisinya, sebagaimana mestinya. Saking rutin dan biasanya, terlalu fokus pada hal-hal yang harus diselesaikan hari itu, dan terburu-buru,  banyak hal yang saya lewatkan begitu saja setiap harinya. Saya tidak lagi menikmati matahari terbit dan tenggelam hari itu, tawa dan lari-lari anak-anak sekolah yang saya singgahi, suara ibu-ibu penjual menawarkan dagangan di pasar yang saya lalui. Karena buat saya (yang tend-to-take-everything-for-granted ini), hal-hal tersebut ya sudah seharusnya terjadi. Setiap pagi. Setiap hari. Ga ada yang istimewa, ya kan?

Hal yang sama untuk orang-orang di lingkaran terdekat saya. Mereka yang ada di setiap hari di kehidupan saya. Saking terbiasanya dengan kehadiran mereka, dan hal-hal yang mereka lakukan untuk saya, saya cenderung lupa berterima kasih untuk kehadiran mereka dan apa yang telah mereka lakukan. Untuk makanan yang terhidang di meja, untuk rumah yang bersih,  untuk bahu dan telinga yang selalu tersedia untuk berkeluh kesah, untuk tangan yang terulur membantu, untuk tepukan di punggung, untuk pelukan yang hangat. Karena buat saya, ya itu sudah sewajibnya sesuai peran masing-masing. Sudah tugasnya. They are just doing their job as their role. Role as Mom, Dad, Parent, Husband, Wife, Son, Daughter, Brother, Sister.

Banyak hal yang menandakan kita masih hidup hari itu, masih bersama orang-orang terdekat, masih ada di lingkungan yang nyaman. Tetapi ketika hal-hal yang kita anggap biasa dan rutin itu hilang, tidak ada pada kondisi seharusnya, tidak berada di tempatnya, saya susah. Bingung. Lalu cenderung pengen marah. Like, “hey! you are not doing your job. That’s your obligation. Why don’t you do it!”. Perasaan aneh “kok-gue-ngga-tau-ada-ginian”, ketika ada teman dari luar kota yang posting photo di lokasi yang sebenernya tiap hari dilewatin tapi ngga diperhatikan. Perasaan bingung “ih-kenapa-pake-tutup-sih“, ketika warung/mini market/tempat jualan tempat biasa beli sesuatu di jalan yang sehari-hari dilalui tutup, lalu bingung mau cari ke mana. Ketika sarapan telat dihidangkan atau bahkan lupa karena sesuatu dan lain hal. Kereta mogok. Ban pecah. Handuk basah di atas kasur atau bekas makan yang tidak dicuci.

Hahahahaha. Me. Guilty as charge. (and you too, maybe?)

Padahal dua tahun yang lalu sempet bikin daily gratitude list di IGS. Untuk mencatat apapun hal yang patut saya syukuri hari itu. Tapi ya gitu, namanya terbiasa, lama-lama jadi malas. Tidak lagi menyenangkan. Padahal mencatat hal-hal kecil tersebut penting. Agar saya berhenti sejenak, menikmati sekitar, memperhatikan, bersyukur dan berterima kasih.

Bikin daily gratitude list lagi apa ya? Tapi gimana caranya biar ngga bosen? Biar ngga terjebak rutinitas? Supaya bisa memulai satu dekade berikutnya dengan berhenti sejenak, menikmati momen, memperhatikan sekitar, bersyukur, dan berterima  kasih kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu untuk kita (meskipun itu sudah tugas dan perannya). Not easy as it sound, but I’m trying. Wish me. Hahahaha.

Cheers to another decade together.

12 thoughts on “To Another Decade”

  1. Wah kalo bisa bertahan nulis daily gratitude gitu setahun penuh ya luar biasa. Pernah ikut challenge posting foto 30 hari aja aku nggak betah, haha.

    Tapi nggak betahnya bukan behenti posting di tengah jalan, tapi jadinya nyetok foto buat seminggu, diatur supaya otomatis posting tiap pagi, hhh.. #licik

    Anyway, good luck on the following decade. Semoga rencana2nya tercapai di 2020 ini. Aamiin.

    Like

  2. Bikin daily gratitude list lagi apa ya? Tapi gimana caranya biar ngga bosen? Biar ngga terjebak rutinitas? Supaya bisa memulai satu dekade berikutnya dengan berhenti sejenak, menikmati momen, memperhatikan sekitar, bersyukur, dan berterima kasih kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu untuk kita (meskipun itu sudah tugas dan perannya). Not easy as it sound, but I’m trying. Wish me. Hahahaha.

    Semoga sakseis mba! Hehehe..
    Menurut saya kalo berhenti di tengah jalan juga tak apa. Terjadi lagi rutinitas ya oke saja karena mampunya begitu. Kadang rutinitas itu penting biar berjalan fungsinya sebagai manusia “normal”. Tabungan gratitude itu bisa diliat saat jemu dengan rutinitas. Karena punya pilihan untuk menjalani rutinitas atau berhenti sejenak adalah anugrah. Hehehe.

    Mba Chichi kabaarr :*

    Like

  3. Saya termasuk orang yang gak konsisten. Sempat bikin daily gratitude list seminggu kemudian lupa. Padahal sebenarnya bikin gratitude list bisa mengingatkan hal-hal sederhana yang kadang terlewatkan.
    Bikin lagi apa ya.

    Like

  4. Hal yang sering saya alami juga. Ketika keteraturan berjalan semua seperti biasa dan lempeng2 saja… seperri datar saja. Namun baru merasa kalau salah satu elemen yang mendukung tidak ada. Kadang menjadi kelimpungan

    Like

Leave a comment