can't get this out of my head, just a thought

To Salim or not to Salim

Well yeah. That’s a question.


Bagi yang punya anak dan pernah jadi anak-anak, pasti paham banget kan ya salim itu apa. πŸ˜‚ Kebiasaan salim aka cium tangan ini memang budaya yang mengakar banget di Indonesia. Semacam kebiasaan menghormati kalau ketemu sanak saudara yang lebih tua dengan salim. Kalo ngga salim dibilang ngga sopan atau kurang ajar. πŸ˜… Jadi udah biasa aja denger kalimat “hei ada ua anuh, tante itu, om ini.. ayo salim dulu”.

Kalian yang punya anak, apakah kalian mengajarkan anak kalian kebiasaan “salim” ini?

Saya sih terus terang tidak. Vio tidak saya ajarkan kebiasaan salim ini. Hahahaha. Hahahaha. Karena apa ya? Hmmmm… ini rada obyektif sebenernya. Bukannya saya tidak mengajarkan Vio bagaimana menghormati orang yang lebih tua. Bukan. Tapi lebih ke masalah hygienist.

Yes, masalah hygienist.

Buat yang kenal saya banget, saya tuh so freaking addictive dengan yang namanya cuci tangan. Apapun aktivitas saya, selalu saya mulai dan akhiri dengan cuci tangan. Kalau ngga ketemu air dan sabun gimana? Saya mengantongi so called anti-bacterial hand gel dan tissue basah ke mana-mana. Kalau ngga ketemu air dan sabun, saya pakai kedua benda tersebut.

Nah, balik lagi ke masalah salim. Kenapa Vio tidak saya ajarkan kebiasan salim? Karena saya ngga yakin orang yang di-salim itu tangannya bersih atau ngga. Ya kali beliau abis ngapain gitu kan, pegang-pegang apa gitu kan, belum sempet cuci tangan. Trus anak saya kudu salim.

Padahal kebiasaan salim ini adalah aktivitas menempelkan hidung dan mulut kita ke punggung tangan orang yang di-salim. Kebayang ngga kalau pas beliau yang abis-entah-ngapain-tapi-belum-sempet-cuci-tangan itu, trus kita salim, kuman-kuman yang nempel di tangan beliau masuk ke badan kita atau anak kita lewat hidung.

Ewwwww. 😣

Jadi ya gitu. Vio ngga saya biasakan salim memang. Kalau pun terpaksa karena ketemu orang (lebih) tua yang kalo ngga di-salim terus ambekan, saya mengajarkan Vio salim dengan menempelkan pipi atau jidat di punggung tangan yang di-salim. Bukan hidung dan mulut. Hehe. Hehe.

Saya berlebihan? Ngga ngerti adat sopan santun? Ya biarin lah. Mending preventive dari pada anak sakit. 😌 Wong sama saya aja, saya ngga pernah membiasakan Vio salim kok ke saya. Trus gantinya apa? We are hugged each other. Mau berangkat sekolah, peluk. Pulang sekolah, peluk. Mau tidur, peluk. More intimate. 😁

Kalian-kalian yang pernah ketemu Vio langsung dipeluk sama Vio paham kan sekarang kenapa Vio datang-datang ketemu kalian langsung meluk instead of salim. Ya emang dibiasainnya gitu. Saya pun kalau ketemu anak temen lainnya dan disuruh salim, saya tolak karena saya ngga yakin tangan saya bersih. Gantinya, saya peluk. Lebih akrab dan ngga ada hirarki saya-lebih-tua-dan-kamu-anak-kecil. 😁

Ah apalah artinya salim, kalau ke orang tua tetep kurang ajar dan durhaka kan ya? 😌

6 thoughts on “To Salim or not to Salim”

  1. masih…tapi kalo aku punya anak, mungkin enggak… peluk dan cium itu lebih mesra, setuju! tapi tapi tapi, di kantor lagi ada anak magang. anak STM gitu. tiap kali pulang, ada 6 ekor salim ke aku…rasa2 gak enaaakkk, gimanaaaa gituuu… disalim ga nyaman, gak ditanggepin kok kaya gak menghargai =))

    Like

  2. Aku juga nggak mewajibkan si boy untuk salim. Kecuali kalau memang orangnya minta disalim…ya harus disalim. Tapi itu….si boy udah kebiasaan, kalau habis salim atau salam orang pasti cuci tangan. ga enak juga sih kalau ketahuan sama orangnya, tapi ah ya sudahlah πŸ˜€

    Like

Leave a comment