can't get this out of my head, just a thought, ngga jelas

Coklat Vanilla

Mereka berjalan beberapa meter di depan saya, tampaknya saling berpegangan tangan. Percakapan mereka sungguh menarik, dan saya bisa mendengar semua yang mereka katakan meskipun saya tidak benar-benar niat untuk mendengarkan percakapan mereka. I’m not spying on them as well… cuma kebetulan berjalan ke arah yang sama saja.

Mereka berhenti di depan sebuah toko es krim. Ntah kenapa saya tidak bisa melarang otak saya untuk berpikir “tawarin pacar mu sesuatu dari situ, be a gentleman!”. Aduh otak saya sungguh nakal! 

Tapi toh ternyata si laki-laki memang memutuskan mengajak perempuannya masuk ke dalam toko itu. Saya tersenyum dan bertepuk tangan diam-diam di balik kantong cardigan saya. Saya tidak lagi bisa mendengarkan apa yang mereka perbincangan ketika saya melintasi toko es krim yang sama kecuali satu kata “mau coklat atau vanilla?“.

Dan ntah kenapa pertanyaan simple itu terus menerus bergema di kepala saya sejak hari itu. Membuat saya menerung dan bertanya-tanya. Bukaaaaaan… bukan soal apakah mereka akan memilih coklat atau vanilla,  tapi tentang mengapa ada orang yang menginginkan “rasa lain”.

Coklat, terasa begitu gelap dan misterius, dikelilingi oleh aura kesenangan dosa-dosa kecil dan terlarang. Penuh kejutan.

Vanilla, di sisi lain, terasa memiliki sesuatu yang murni, sesuatu seperti masakan nenek dan kue muffin untuk sarapan pagi. Begitu jelas, begitu umum, dan begitu biasa.

Mungkin ini juga membuat adanya jargon “life is like a box of chocolate“, karena kita tidak pernah tau akan dapet coklat dengan isi yang seperti apa dari dalam kotak tersebut. Bisa jadi cuma coklat tanpa isi, manis sekaligus sedikit pahit, atau juga coklat dengan isi kacang yang sedikit keras bila digigit.

Ketika memilih Vanilla, kita sudah tau akan mendapat yang seperti apa. Memilih vanilla seperti hendak menghindari risiko yang mungkin terjadi. Memilih vanilla, seperti mengindahkan satu keinginan terpendam di dalam hati dan memilih mengikuti yang aman saja. Toh, sudah tau rasanya kayak apa kan?

Lalu gimana dengan “Chocovanilla”? Well, very few things in this life are black and white, dear friends...


65 thoughts on “Coklat Vanilla”

  1. saya dua2nya sama aja…enakkkkz…apalagi pas lagi nulis komen ini belom sempet makan…terasa menggugah selera buat makan ….. 🙂

    Like

  2. Sahabat tercinta,
    Dengan hormat saya mengundang sahabat untuk mengikuti pagelaran Kontes Unggulan Cermin Berhikmah (K.U.C.B) di blog saya -New BlogCamp-
    Silahkan menulis cerita fiksi mini yang bisa diambil hikmah atau dipetik pelajaran darinya, lalu daftarkan di New BlogCamp.
    Hadiahnya sih biasa-biasa saja tetapi sensasinya sungguh luar biasa karena sahabat akan terkagum-kagum dengan bakat anda dalam menulis sebuah cerita fiksi.
    Jika anda berminat silahkan menyimak ketentuan dan syaratnya di :
    http://newblogcamp.com/kontes/kontes-unggulan-cermin-berhikmah
    Terima kasih.
    Salam hangat dari Surabaya

    Like

    1. oiya, pas bagian ini:

      […]Coklat, terasa begitu gelap dan misterius, dikelilingi oleh aura kesenangan dosa-dosa kecil dan terlarang. Penuh kejutan.

      Vanilla, di sisi lain, terasa memiliki sesuatu yang murni, sesuatu seperti masakan nenek dan kue muffin untuk sarapan pagi. Begitu jelas, begitu umum, dan begitu biasa.[…]

      hadeuh….
      jlebh!

      Like

Leave a comment