Draft tulisan ini sebenernya udah lama banget saya buat. Jauh sebelum saya menonton 3 Idiots, jauh sebelum ada diskusi mengenai sekolah di milis blogger yang saya ikuti, sampe akhirnya saya ngga sengaja membaca sebuah tulisan di sebuah forum orang tua.
Ya betul, saya memang mau bicara soal pendidikan di sini. Tepatnya kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah sekarang. Keresahan itu berawal ketika saya sedang survey mencari sekolah bayi buat Vio di suatu pameran pendidikan. Saya sengaja masuk ke stand-stand beberapa sekolah dasar ternama sekedar pengen tahu berapa sih biaya yang harus saya siapkan begitu Vio akan masuk SD lagi. Selain tercengang mendengar biaya yang harus saya keluarkan ternyata sama seperti biaya saya kuliah sampe S-2 kemarin, saya juga tercengang mendengar syarat masuknya. Masuk SD pake ujian. Sudah bisa baca, tulis dan hitung.
Oh please.. masuk SD gitu looooh!
Ngga berapa lama dari saya yang terkaget-kaget dengan persyaratan tersebut, seorang teman mendadak mengeluhkan hal yang sama di milis. Dan pada waktu saya iseng browsing mengenai hal ini, saya menjumpai diri saya tenggelam membaca beberapa keluhan orang tua di sebuah forum tentang anak-anak mereka yang ngga diterima di sekolah mana pun, cuma gara-gara belum bisa baca tulis dan hitung. Bayangkan, baru mau kelas 1 SD, dan mereka sudah tidak bisa sekolah, padahal orang tua-nya mampu.
Padahal ya dulu, kayaknya mau masuk SD gampang-gampang saja. Saya memang sudah bisa membaca sejak umur 3 tahun. Sudah mengenal angka dan tambah-tambahan sederhana yang masih menggunakan jari. Tapi, teman-teman saya dulu banyak yang belum bisa baca, tulis dan hitung waktu di kelas 1 SD. Dan mereka masih tetap bisa sekolah!
Pencarian saya di google, kemudian membawa saya pada artikel ini. Tolong perhatikan baik-baik bagian yang saya kutip.
Prof Suyanto menekankan kalau aturan main untuk penerimaan SD sudah tertuang dalam Surat Edaran dari Dirjen Dikdasmen Nomor: 1839/C.C2/TU/2009 yang ditujukan kepada para gubernur dan bupati/walikota di seluruh Indoensia. Surat edaran itu menyebutkan, bahwa kriteria calon peserta didik SD/MI berusia sekurang-kurangnya 6 (enam) tahun, pengecualian terhadap usia peserta didik yang kurang dari 6 (enam) tahun dilakukan atas dasar rekomendasi tertulis dari pihak yang berkompeten, seperti konselor sekolah/madrasah maupun psikolog. “Jadi, tidak ada itu tes-tes masuk. Di situ kan sudah dijelaskan, bahwa masuk SD itu ukurannya hanya usia, bukan kemampuan akademik melalui sebuah tes.“
Lalu kenapa masih ada sekolah yang menerapkan persyaratan baca tulis hitung tersebut? Kenapa masih ada yang ngga bisa sekolah cuma gara-gara ngga bisa baca tulis hitung? Tidak adakah sistem punishment terhadap sekolah yang masih mensyaratkan baca tulis hitung untuk masuk SD? Atau aturan itu hanya sekedar himbauan? Aneh!
Ngga lama dari situ, saya kembali terbengong-bengong ketika bercakap-cakap dengan istri salah seorang blogger seleb yang ternyata adalah seorang guru di suatu SMP negeri di Jakarta Timur. Bukan isi percakapannya yang bikin saya menganga, tapi ketika saya tau mata pelajaran apa yang beliau asuh di sekolah. Ada yang bisa menebak? Well, apapun mata pelajaran yang terlintas di benak kalian sekarang ini, mungkin itu salah. Serius. Karena beliau ternyata adalah Guru IT. YES. IT. Informasi Teknologi. Di SMP. Yang bukan sekedar mengenalkan komputer secara dasar, tapi juga pembahasan mendalam mengenai corel draw, desain grafis dan lain sebagainya itu.
Sekarang kalian boleh melotot tercengang. Itu persis reaksi saya pada saat itu.
Dan mungkin karena beliau merasa geli dengan keterkagetan saya, dengan santai beliau berkata kepada saya “kurikulum sekarang memang dipadatkan seperti itu Mbak Chic. Mbak inget dulu belajar algoritma kelas berapa?“. Saya pun menjawab dengan mantab “kelas 3 SMP“. Beliau cuma tersenyum dan kemudian berkata, “sekarang alogaritma diajarkan di SD lho Mbak…“.
Gawd! Pelototan mata saya bertambah besar saat itu. Saya bahkan tidak mampu berkata-kata lagi selain bengong.
Hal-hal tersebut akhirnya membuat saya jadi sangat memaklumi kenapa seorang keponakan kemaren nangis-nangis cuma karena Ujian Nasional doang. Atau seorang saudara jauh yang baru pulang dari Jepang, mendadak jadi paling bego di kelas begitu sekolah di sini. Atau seorang teman lebih memilih menyekolahkan anaknya di Singapura ketimbang di sini. Dan seorang teman lainnya yang kenyang dengan pendidikan di Inggris sana karena ayahnya seorang Diplomat, lebih memilih metode home schooling untuk anak-anaknya ketimbang menyekolahkannya di sekolah internasional sekalipun hanya karena tidak suka anak kelas 1 SD tapi sudah dibebani dengan banyak Pe-eR.
Dan yes, nonton 3 Idiots membuat semakin mencemaskan bagaimana pendidikan anak saya nanti. Bukan karena saya ngga mampu menyekolahkan, tapi lebih ke bagaimana anak saya nanti di sekolah. Mampu kah dia menerima semua pelajaran yang dijejalkan di dalam otaknya, atau malah membuat stress yang tidak ketahuan akibat tuntutan tersebut.
Jadi inget tulisan yang dikutip di sini:
“Kecerdasan anak akan berkembang pesat melalui interaksi intensif dengan lingkungan sekitar. Jika tidak ada interaksi, kecerdasan anak justru tidak akan berkembang. Sementara, pengajaran calistung pada usia dini justru akan semakin menjauhkan anak dari interaksi dengan lingkungan. Oleh karena itulah, pengajaran calistung pada anak usia dini tidak diperbolehkan,”—Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Departemen Pendidikan Nasional, Dr. Ace Suryadi. (http://paudcenter.info)
Sampai disini kualitas pendidikan kita memang tidak perlu dipertanyakan lagi. Super Canggih. Tapi apakah mampu kurikulum pendidikan yang super canggih sekarang ini menelurkan anak-anak yang juga canggih? Secara IQ mungkin. Secara EQ (empathizing quotient) dan SQ (systemizing quotient), saya meragukan. Seperti tulisan Dr. Ace Suryadi yang saya tulis di atas, “Sementara, pengajaran calistung pada usia dini justru akan semakin menjauhkan anak dari interaksi dengan lingkungan.” Padahal EQ dan SQ yang baik dihasilkan pembentukan lingkungan. Lah kalo anak dari usia SD saja sudah dipaksakan menerima pengetahuan jauh melebihi tingkat umurnya, kayak apa jadinya? Malah jadi terbebani dan kehilangan rasa simpati dan peka akan lingkungan sekitar. Atau malah justru melahirkan Marsha-marsha dan Rana-Rana baru lainnya?
Well, mudah-mudahan menyekolahkan anak di Singapura atau malah home schooling bukanlah merupakan jawaban final untuk saya.
Dua hari lagi Hari Pendidikan Nasional. Semoga Ki Hajar Dewantara ngga menangis di atas sana 🙂
LikeLike
Artikel yang bagus sekali…
setelah ane membacanya ane jadi inget anak-anak tetangga ane yang sekarang pada mau daftar sekolah. Rata-rata mereka bingung mendaftarkan anaknya ke sana dan sini. Takut kalo ditolak jadi bikin cadangan ndaftar sekolah ditempat lain…
Sebenarnya apa yah motif tes masuk sekolah, sekarang TK juga ngadain tes masuk …
kalo njaga kualitas rasanya koq gak adil yah..
hi hi hi lam kenal dari ane
http://ahsanfile.wordpress.com
LikeLike
kayaknya sekolahnya males, cuma mau nerima murid yang sudah jadi, ngga mau susah…
kalo gini sih ngapain anak saya disekolahkan di situ 😈
LikeLike
buat saya, pendidikan di Indonesia ini ga punya cetak biru (blue print) yang tetap dan tertata. ga ada yang namanya visi dan juga tujuan. yang ada hanya pengembangan, dan terus-menerus trial-error.
dan, pola seperti ini, yang terdapat perbedaan kasta antara swasta dan negeri yang saling bersaing, bukan ga mungkin justru anak2 bakal jadi stress dan yang terjadi malah nantinya pengembangan diri secara kejiwaannya tidak dapat berjalan dengan baik. salah2, malah nanti seperti di Jepang ataupun AS yang ada beberapa kasus anak-anak melakukan tindakan kriminal ekstrim seperti (maaf) membunuh orang lain. oiya, kasus bunuh diri saja sudah semakin meningkat karena ini.
btw, buat saya, kalo memang pilihannya hanya pada home schooling? kenapa tidak? toh, sekarang sudah mulai banyak koq lembaga pendidikan yang mau menerima lulusan home schooling, meski biaya yang dikeluarkan bisa jadi besar. yang penting kan, kejiwaan mereka terjaga..
itu opini saya sih mak Chic..
LikeLike
bisa diusulkan ke Depdiknas ga ya tulisan-tulisan kita ini? 😐
LikeLike
nganu mbak, sekolah deket rumah saya yang katanya bertaraf nasional itu selain ada tes masuknya juga ada pertanyaan soal latar belakang orang tua.. dari kerjaan sampe gaji.. OMG! dari SD aja udah dipersulit masuknya 😦
LikeLike
Bukan cuma SD kayaknya, tapi dari mulai TK udah diseleksi dari soal kecerdasan sampe gaji orang tua…
model seperti ini cuma menjadikan yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin
LikeLike
aduh aku makin bingung mam mesti nyekolahin Vio di mana? 😦
LikeLike
gak heran lah kalo sekarang anak-anak sekarang nggak ada ‘unggah-ungguhnya’ sama orang tua. lah dari kecil lebih banyak dibebanin pe er sekolah keimbang pelajaran budi pekerti dan bagaimana bersosialisasi yang benar. 😐
LikeLike
Apalagi anak-anak kota mba.
kecil-kecil udah gak ada sopan sama sekali ama orang tua…
no hope 😦
LikeLike
yup! yang kayak si Marsha dan Rana itu yang cuma satu dua orang, tapi hampir rata-rata. Kalo sudah gini patut ga sih kita mempertanyakan kualitas sekolahnya? 😐
LikeLike
masukin pondok aja Vio mbak Chic 😉
LikeLike
apakah pondok juga jaminan? rasanya tidak 🙂
LikeLike
sik sik, saya jadi tambah bingung kalo kayak gini. di negara indonesia tercinta ini kan ada yang namanya kementrian pendidikan nasional, yang salah satu kerjaannya mbikin kurikulum yang kemudian dipake di sekolah-sekolah. ada hubungan struktural antara sekolah-sekolah itu dengan kementerian, atau kalo di daerah, dinas pendidikan.
salah satu ciri hubungan struktural adalah adanya jenjang pengawasan yang jelas, kalo kata Mbah Suto ada hirarkinya. tapi kalo liat tulisan sampeyan di atas dan saya bandingkan dengan praktek di lapangan kok ndak sama. saya kerja di birokrasi juga mbak, yang namanya SE itu petunjuk pelaksanaan di lapangan, biasanya turunan dari keputusan menteri, yang turunan dari peraturan pemerintah, yang turunan dari undang-undang, yang biasanya memang bahasanya masih nggantung di awang-awang. itu bukan himbauan, itu perintah!
LikeLike
kalo SE itu bukan sekedar himbauan, tetapi perintah, kok masih ada yang membangkang? Kenapa ga bikin sistem punishment? wong sekolahnya juga suka menghukum murid kok, kenapa ngga atuh sekalian sekolahnya juga dihukum? :twisted;
LikeLike
mumet memang makcik
kayaknya berusaha mengenalkan sistem baru yang aneh
namun infrastruktur dan sistemnya belum siap
cuma bisa berdoa smoga generasi yg membidangi pendidikan akan bisa melihat lebih luas lagi akan kondisi negeri ini, gak cuma bercermin dari keadaan di pulau jawa dan sekitarnya saja
🙂
LikeLike
sistem baru ini bukan cuma aneh, om, tapi juga ajaib! 😈
LikeLike
waduh… jaman 10 tahun lagi gimana ya? Tapi apa ini cuma berlaku di daerah kota besar saja? Di sini kok saya belum pernah denger ada syarat semacam itu ya? 😐
LikeLike
coba buka mata dan telingan lebar-lebar ke sekolah-sekolah yang dianggap unggulan di kota mu itu Des 😉
LikeLike
wah saya juga pengen banget menulis tentang ini, bagaimana perkembangan pendidikan Indonesia entah dibilang semakin maju karena semakin byk yg pintar sejak dini, tapi apakah mereka siap?
terus terang saya benar2 pinter baca kelas 2 SD lho, dan rata2 dulu teman pinter baca itu kelas 3 SD, mungkin beda kali yah dengan di jawa yg lebih pesat perkembangan anaknya.
Terkait sebuah sekolah dilakukan tes bagi sy sih sah2 aja, karena mereka punya quota anak didik, utk bisa diterima di sebuah sekolah.
Kalo saya sekolahkan anak awalnya di sekolah yg biasa2 saja, liat perkembangannya, jika memang butuh sekolah yg kelasnya lebih tinggi (tingkat kecerdasan) sebaiknya didukung.
Kadang ya, seorang anak akan kehilangan masa kecil bahagianya, karena sudah dijejali sejak awal materi2 berat, sehingga hanya berdasar pada sebuah materi pelajaran, bukan pada sistem emosi dan komunikasi yg seharusnya jg diajarkan sejak dini.
anyway nice post mbak chic 😉
LikeLike
ditunggu tulisan mu Rul 😉
LikeLike
bener chi, sekarang memang begitu….diriku aja sampe bosen protes sana, protes sini, sama gurunya anakku…(kls 3 sd)…tasnya beraaaat banget karena terlalu banyak buku yg harus dibawa untuk setiap pelajaran…belum lagi kadang cara gurunya ngajar, bikin aku gak sreg…ya cara marah2nya, ya cara ngajarnya…tapi aku udah survey (cieee…) di beberapa sekolah yg lain, keluhan ortu2nya hampir sama denganku..
jadi, emang kayaknya lebih bagus homeschooling aja kali ya? kalo emang kita bisa sabar, dan bisa bener2 konsekuen masalah waktu belajarnya anak2 di rumah..(masalahnya diriku gak sabar :D).
Belum lagi materi pelajarannya yg emang kayaknya gak pas sama umur anak2…hampir semua anak di komplek rumahku, pulang sekolah , anaknya ikut les pelajaran sehari2 lagi, sampe sore..(kalo jamanku dulu, xixixi, les itu kan artinya les tari, musik, renang atau apa deh yg bikin anak2 bahagia dan tersalurkan hobinya…dan soal les pelajaran ini, aku gak mau ikut2an deh…kasian, capek…).
nice post chi…(sorry ya, numpang ngomel jadinya…hehehehehe)
LikeLike
ga apa-apa Mbak, kalo perlu bikin tulisan baru juga boleh.. siapa tau tulisan-tulisan kita membuat Depdiknas berpikir ulang..
terus terang saya ngga mau cuma berakhir di tulisan ini Mbak. Saya concern banget terhadap nasib pendidikan anak-anak saya kelak. 😐
LikeLike
hahahaha. pendidikan sekarang emang mahal banget ya mbak..
makanya rakyat miskin lebih milih kerja aja daripada ngabisin duit buat pendidikan..
indonesiaa..oh indonesiaaaaa….
LikeLike
kamu kemaren sekolahnya gimana na?
LikeLike
Nice post, Mbak. 🙂
Saya melongo waktu baca ini.. benarkah sekarang ada tes masuk SD? Saya juga dulu masuk SD sekitar tahun 1995, hanya dites menulis beberapa huruf abjad dan baca Al-Quran (dengan patokan umur juga tentunya). Ingatkan saya, bukankah waktu TK dan playgroup anak2 sudah diajarkan menulis dan membaca? Kalau begitu, bagaimana mungkin anak yang mau masuk SD umur 7 tahun (atau 6 tahun) masih belum bisa menulis?? Tolong perbaiki jika saya salah. Harusnya kalau tesnya hanya menulis dan membaca, gampang lah. 😀
Perihal bahwa ada aturan pemerintah masuk SD ga usah tes, saya juga baru tahu. 😮 Apakah ini wujud kemalasan pendidik untuk mengajarkan menulis dan membaca di SD?
Saya juga was-was nih kalo nanti punya anak, mau digimanain ya pendidikannya… 😦
LikeLike
Teka belajar membaca dan menulis? Wooogh saya tidak. Teka saya adalah main, main dan main. Masa kecil saya bahagia, ngga kayak anak-anak sekarang. Terbebani. 😐
saya sih ga akan memaksa anak saya belajar membaca dan berhitung di usia playgroup atau teka kalo dia belum mampu. silahkan tanya para ahli, atau cari berita-berita yang bisa dipercaya. Usia playgroup bukanlah waktu yang tepat belajar calistung.
sekarang ya ibarat buah, jika dipaksa matang sebelum waktunya, akan membusuk lebih cepat. Saya ngga mau anak saya juga “membusuk” lebih cepat. 🙂
LikeLike
Wah kalo bisa sich jangan Home scholling mbak… bagaimanapun seorang anak selain dijejali dengan berbagai ilmu namun kemampuannya untuk bersosialisasi juga perlu dilatih kan…
HIDUP!!! ^_^
LikeLike
siapa bilang anak Home Schooling itu tidak bisa bersosialisasi? banyak kok sarananya.. 😉
LikeLike
Tapi kalo tekanannya di sekolah kayak gitu sih anak-anak saya mending home schooling aja.. saya gak mau anak saya stress 😦
LikeLike
kayaknya juga gitu tin… kalo menilik dari semua komen yang masuk, home schooling kayaknya emang yang paling oke 😦
LikeLike
Itulah dunia pendidikan kita, mbak. 🙂
Tes calistung itu memang tidak pernah dijadikan syarat formal masuk SD, tetapi beberapa sekolah melakukan itu karena katanya “supaya berkualitas”. Padahal tidak lain hanya wujud kemalasan mengajarkan calistung di bangku SD.
LikeLike
Setuju Bang.. saya juga kemaren sempat berpikir bahwa sekolah yang menerapkan tes calistung adalah sekolah malas. Lebih tepatnya guru-gurunya yang malas. Padahal guru yang paling berjasa itu buat saya adalah guru yang bisa mengajarkan calistung hingga mahir kepada anak murid-nya. Kan itu dasar pendidikan banget, patokan kalo beliau sukses, berarti si murid akan sukses di pelajaran lainnya 😉
LikeLike
semoga ada sekolah yang mau mendengarkan keluhan para orangtua. terus terang saja, melihat sistem sekarang ini dan juga setelah menonton three idiots, saya jadi ngeri kalau punya anak nanti mau disekolahkan di mana…
LikeLike
sudah banyak mengeluh kok Mbak, tapi sekolah-sekolah pemalas itu tutup mata. Yang penting duit. Salahkan Depdiknas tidak menerapkan sistem punishment bagi sekolah-sekolah yang masih mensyaratkan calistung itu 😐
LikeLike
“aku biyen SD pas umur 5 tahun, durung iso moco lan nulis, tapi yo mlebu – mlebu ae. ”
Diperlukan kebijakan lain dalam menentukan kebijakan masuk SD.
LikeLike
yoih, masih bisa tetep sekolah kaaaan…
LikeLike
Semua berlomba lomba mengejar julukan “Sekolah Elite” …
Dengan adanya peningkatan tekanan di bidang studi ini malah menurutku bukan membuat murid-murid tambah pintar, tapi tambah goblok… =_= soalnya sekolahannya aja ga bisa mikir dengan logika, lihat aja kelak, kelas 3 SD udah disuruh bikin Calculus … bah
LikeLike
what should we do? 😥
LikeLike
kapan hari itu saya baca, anak-anak indonesia itu mendapat pengaruh negatif untuk sifat dan kepribadian mereka 60 persen dari sekolah.
Whoaa….
LikeLike
mansuuuup… kamu kan guru, mbok ya diusulkaaaaan… ndak bisa ya? 😥
LikeLike
Seandainya saya yang punya sekolahan Chi..
Seandainya guru bener-bener bebas dari konflik kepentingan birokrasi dan politik..
.
Tapi kenyataan di lapangan ya begitu… Kadang bingung sendiri dengan aturan-aturan yang ada.. Lah itu UN yang protes jutaan mulut, tapi karena satu telinga yang tuli, ya ndak ada gunanya…
.
Paling banter saya cuma bikin sedikit upaya perbaikan di sekolahan saya,. Kemaren rencananya bikin kurikulum khusus buat masukin pelajaran lalu lintas dan tanggap bencana.. itu pun belum kelar
LikeLike
Saya guru IT SD loh. Dan Corell Draw itu diajarkan untuk kelas 5 SD, kelas 6 itu photoshop.
Sebenernya memag syarat untuk masuk SD itu hanya usia. Seharusnya begitu. Namun banyak sekolah sekarang menyaring karena memang direbutin, juga melihat dari pelajaran yang sudah berat untuk kelas 1 SD. Tapi sekolah saya sih enggak mensyaratka itu, hanya kalau sampai akhir kelas 1 SD masih belum dapat membaca dengan baik, anak itu tidak dapat naik kelas.
Saya kira, harusnya pembuat kebijakan juga konsisten. Kalau memang hanya usia, maka seharusnya menurut kurikulum,pelajaran kelas 1 SD difokuskan pada pengenala huruf dan belajar membaca. Ini kan enggak. Untuk pelajaran Kewarganegaraan saja materi kelas 1 SD adalah hak dan kewajiban.
LikeLike
tidak bisa kah diusulkan ke Depdiknas? 😐
LikeLike
Beuh, udah jontor rasanya nih bibir… 🙂
Tapi, gak usahlah terlalu dikhawatirkan. Memang pelajaran sekarang lebih berat. Apalagi saat sudah kelas 4 SD ke atas. Tapi gaya pembelajarannya lebih rileks, atau, yah, paling tidak para guru berusaha semaksimal mungkin untuk itu. Dengan berbagai keterbatasan yang masih membentuk, kita bener-bener berusaha mewujudkan pembelajaran dengan aktif dan menyenangkan bagi anak. Dan anak-anak sekarang pun lebih hebat dari zaman kita. Mereka lebih melek informasi. Silahkan tanya para orangtua yang anaknya sudah bersekolah. Memang kalau orangtua baru masih rada panikan dan menganggap terlalu berat untuk anak-anak. Kekagetan yang kedua adalah, biasanya, pas sadar bahwa yang namanya PR buat anak itu gak seperti kita zaman dulu dikasih soal. Di beberapa sekolah, kelas 2 SD sudah menugaskan anak-anak untuk presentasi di depan kelas. Jangan kaget, yah.. Bahkan saya pernah mampir di suatu MI pas lagi ada semacam seminar. Masalahnya, yang ngisi seminar itu anak-anak kelas 4 dan 5 SD dan pesertanya orangtua siswa. Memang ini sih semacam seminar-seminaran karena anak-anak masih dibimbing gurunya, tapi tentu itupun sudah hebat sekali, bukan?
Saya kira, kalau sekolah negeri pastilah masih menerima anak yang belum dapat membaca. Kalau swasta, yah begitu. Kalo sudah ternama dan bahan rebutan, jangankan harus sudah bisa baca yang merupakan saringan dari keterbatasan kelas dan bejubelnya peminat. Bahkan, ada yang musti pesen bangku dari jauh hari. Tapi ada juga beberapa sekolah swasta yang bagus masih mau idealis dengan menerima anak berdasarkan waktu pendaftaran tanpa tes baca.
LikeLike
Saya suka komentar ini… Tidak konsistennya pembuat kebijakan,,, 😥
LikeLike
Kecerdasan anak akan berkembang pesat melalui interaksi intensif dengan lingkungan sekitar
Ini kata-kata yang powerful …
dan saya setuju sekali
kesuksesan seseorang tidak ditentukan oleh Intelegensia (semata )
tapi yang lebih penting adalah kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual …
Salam saya
(tadi malem nge-MC ya ChiC ??)
LikeLike
Ha? Kok opa tau saya semalam ngemsi? Emangnya Opa dateng ya? Kok ga negor-negor? 😮
LikeLike
gokil chi… sumpah kaget juga ya? bener2 gila ya persaingan di jaman ini,sampai2 anak2 kecil yg seharusnya masih lebih banyak bermain sudah dibebankan dengan mata kuliah2 yg berat seperti algoritma??
kasian banget… hmm gimana anak saya nanti ya? jaman sekarang aja udah kayak begini 😯
LikeLike
home schooling dot… *sigh* *pasrah*
LikeLike
Yup, masuk SD sekarang emang beda dg jaman kita dulu.. *doooo berasa tua* persyaratan lebih ribet, biaya lebih ribet, aktivitas lebih ribet. jadi musti selektif pisan milih sekolah yang delivery-nya balance dan pas buat si anak.
Materi komputer apalagi.. buanyak dijejalin, anak SD umur 6-7 taun belajar ngegambarnya emang udah pake Corel Draw (di kota Batam juga sama), abis nggambar, ngeprint sendiri trus hasilnya bawa pulang kasih liat mamanya.
etapi anak2 skr emang udah lebih cerdas yaa..
Wow! Vio udah mau sekolah aja. S’pore aja ya Viooo… 😆 nyoook.. *dibekep*
LikeLike
ahahahahaha doakan saya banyak rejeki ya Yun biar bisa ngirim Vio ke Spore…
amiiiin
LikeLike
kalo begitchu, itu sekolah yang emoh repot. capyek deh
LikeLike
sekolah mu dulu gimana neng?
LikeLike
Sekolah yang mahal itu tahu kalau sebagai ortu pasti tidak sayang mengeluarkan uang betapapun mahalnya untuk si buah hati.
Kedua anakku sekolah TK Negeri, SD Negeri, SMP dan SMA Negeri…dan syukurlah perguruan tinggi pun negeri….
Dan ternyata SD negeri (inpres) ternyata malah membuat anak berkembang, masih suka main panjat2an, berlarian, main lumpur…dan masih satu kompleks dengan rumah dinas. an teman2 di PTN, yang rata2 sederhana, bahkan yang kayapun bergaya sederhana membuat anak betah…dan sejak tk 2 kuliah sambil cari uang….Jadi, jangan sepelekan sekolah negeri, kecuali memang bangunannya sangat sederhana
LikeLike
sekolah negeri (yang berkualitas) sekarang juga banyak yang belagu buuuu 😥
LikeLike
buat di indonesia, prestasi akademik itu masih dilihat sebagai sebuah asset, drpada bagaimana pengembangan karakter si anak itu sendiri. itu sebabnya masuk sd aja hrus pake ujian, dan btw ga salah tuh alogaritma diajarin di sd skearang? buset tuh anak kapan mainnya yah? hehehehe
LikeLike
kamu ga minat jadi teacher lagi Mbit?
LikeLike
ajari anak kakak untuk belajar berinteraksi sejak dini
biar ntar kalo udah masuk sd jadi terbiasa
agak heran yah algorithma sekarang udah diajarin di SD.
ckck
LikeLike
done that jauh sebelum kamu komen 🙂
LikeLike
mba chic,vio di homeshooling aja 😀
trus sekolah nya ke sanggar aja buat sosialisasi :p
jujur…pelajaran anak sekolah sekarg bikin stres,gha cmn si bocah yg stres,orang tua nya juga…
si ade,kelas 4 SD
kalau bawa pelajaran ke sekolah, satu tas ransel (lumayan berat) plus satu tas jinjing yg juga cukup berat,belum bawa bekal ini itu
kalau anak reguler pulang sklh jam 12,karna si ade tmsk unggulan pulangnya jam stgh 3
😦 sedih deh sama kurikulum jaman skrg,bener2 ga tau dasarnya mereka menjejalkan sedemikian rupa macem2 itu tujuannya apa
LikeLike
kasian ya Lin… hidupnya cuma buat sekolah, ga sempet lagi ngapa-ngapain 😥
LikeLike
home schooling mungkin opsi yang bagus kalau salah satu ortunya bisa meluangkan waktu yang cukup sehari-harinya untuk nemenin anaknya belajar…
sekolah yang ideal seperti yang chic inginkan memang masih mahal … 😉
LikeLike
tapi apakah ada bener sekolah itu budhe? di mana? bukan di negeri dongeng kan? huhuhuhu
LikeLike
set dah makin stress calon orang tua dimasa depan
LikeLike
etapi kamu jangan sampe jadi ga mau punya anak loh ya dut 😆
LikeLike
saya orang tua dr anak yang umurnya 19 bulan dan saya sudah merasa deg2an dan kebingungan dengan kurikulum pendidikan sekarang. Mau menyekolahkan dari kecil juga kasian tapi kalo tdk mengikuti arus kan kasian juga anak saya, anak2 lain sudah bisa sedangkan dia belum bisa yang pada akhirnya akan menimbulkan rasa minder pada anak saya. Apalagi mulut anak2 jaman sekarang kan tidak sesopan jaman dahulu kala.
setahu saya kalo di finlandia malah akan memanggil dan menindak tegas orang tua yang anaknya terlalu pintar secara akademis jika umurnya masih di bawah 7 tahun, karena orang tua dianggap telah “menganiaya” anak. Coba kalo di sini?….. masuk SD aja di test!!
LikeLike
Wah sama nih nasibnya
bingung nanti mo nyekolahin anak dimana
LikeLike
masak kita harus pindah ke finlandia sih ya? 😐
LikeLike
sudah diforward ke cami, semoga gak shock .. hihihi :p
LikeLike
ya kamu siap-siap aja, sapa tau dia bener shock 😆
LikeLike
Inilah dunia pendidikan di Indonesia, Mbak. Standarnya cuma nilai, tapi mutu tidak diperhatikan. Terdengar sangat bertolak belakang, tapi itulah kenyataannya. Makanya jangan heran kalau sekarang anak SD saja sudah bisa stres. Padahal usia anak-anak lho, masa iya masa mereka yang seharusnya untuk bermain musti dijejali dengan berbagai macam pelajaran yang hanya berfokus pada 1 jenis kecerdasan saja?
Well, ada yang salah di sini. Entah siapa yang bisa dan mau mengubahnya.
LikeLike
ada seorang bilang kalao Sekolah itu untuk Ijazah
sementara Pendidikan untuk masa depan…
so, mau pilih yg mana??
LikeLike
makin aneh saja sistim pendidikan di negeri ini
saya pernah denga bahwa anak-anak yang dijejali pelajaran terlalu dini bisa membuat anak itu bosan dan enggan belajar di usia SD
karena itu menurut saya TK seharusnya menjadi taman bermain saja, boleh belajar baca tulis tapi jangan dipaksakan.
LikeLike
setuju mba’ chica…
Bila sekolah semakin dikomersialisasikan,dan output nya belum tentu sukses,why not homeschooling….
Sekolah bukanlah satu-satunya tempat belajar dan memperoleh ilmu… diera informasi terbuka seperti sekarang ,banyak pilihan untuk mengakses suatu ilmu pengetahuan…
kata nabi yang agung” didiklah anakmu sesuai dengan zamannya….” dan kita bisa lihat dan rasakan kalo anak kita tumbuh pada abad informasi bukan lagi abad industri (tempat kita dibesarkan dan hidup saat ini)…lanjutnya bisa dibaca di Rich Kid Smart Kid-nya Robert T Kiyosaki…
-erina-
LikeLike
Ie nih saya kebeneran pernah nanya dengan teman orang Japan,kalo disini TK pelajarannya ngapain aja yah,yah TK dah jelas kebanyakan maen,terus belajar bacanya kapan nanti kalo 3 bulan terahir mo masuk SD,nah terus belajar nulis nya kapan yah nanti di SD.Umur 7 thn wajib SD, kalo blm sekolah pihak pemerintah datang kerumah supaya masuk SD.Yang lucu temen saya tugas di Japan anaknya ga mau dimasukin di SD di Japan ,karena pelajarannya jauuuh ketinggalan dengan SD kita hehehe.Tapi saya nanya kalo SMU gimana nah disini baru digenjot habiiiis dengan pelajaran alasannya Otaknya dah kuat menerima beban pelajaran.Sebenernya System pelajaran di Negri kita ngadopnya dari mana yah?
LikeLike
Menurut buku “Laduni Quotient; Model Kecerdasan Masa Depan”, kecerdasan pikiran (IQ, EQ dan SQ) haruslah dipadukan dengan kecerdasan hati (aql, qalb, dzauq, shadr, fuad, bashirah dan lubb). Paduan inilah yang akan memunculkan kecerdasan paripurna (LQ).
LikeLike
klo menurut sya yah ci,, mending home schooling aja deh to klo emg mau bgus skalian.. krim ke singapura aja… soalnya klo lhat anak2 skrg sya kasian bnget, tdinya saya seorang gru TK cuma skrg sya hnya bkerja sbagai guru les sja,, hmmm mlihat anak2 skrg sya skgt prihatin,, dsamping mreka hrus dipksa utk nilai akademisnya bgus tnyta mreka etika nya jga praaaaahh bgeeett.. huufftt kdang pgen nge getok klo lhat ank spti tuh… ga da sopan2 nya sma se x…. miris emg lhat pdidikan yg sprti ni…. mlaaah lbih praaaah nya ada stu skolah yg sya tau( msih terletak di daerah) memaksakan anak hrus bisa capai KKM nya diatas 72 lbih… tnpa memperhatikan bgaimana kondisi lpangan n pelajarannya…. hhuufftt pkoknya sngaaat prihatin lhat keadaan pdidikan skrg….
LikeLike