Brainstroming ajah!, Curhat Colongan

Tentang Melukis

Apa sih sejatinya melukis?

Menurut Wikipedia, Melukis adalah kegiatan mengolah medium dua dimensi atau permukaan dari objek tiga dimensi untuk mendapat kesan tertentu. Medium lukisan bisa berbentuk apa saja, seperti kanvas, kertas, papan, dan bahkan film di dalam fotografi bisa dianggap sebagai media lukisan. Alat yang digunakan juga bisa bermacam-macam, dengan syarat bisa memberikan imaji tertentu kepada media yang digunakan.

Lalu, ada apa dengan melukis?

Kemarin pagi, ceritanya sih saya pergi ke rumah sakit untuk check-up dokter ditemani Mama dan Savio. Secara yang didatangi judulnya adalah Rumah Sakit Ibu dan Anak, no wonder ada beberapa anak kecil di sana yang entah mau ke dokter juga atau kah sepertinya Savio, hanya menemani Ibu-nya. Ada satu anak laki-laki yang entah kenapa saat itu sangat rewel. Ca-per banget, jahil banget dan bandel banget. Ada aja barang-barang di ruang tunggu rumah sakit itu yang dipegang-pegang dengan penasaran. Belum lagi ganggu-ganggu adeknya, yang kalo ngga sampe adeknya nangis dia ngga puas. Ibunya kewalahan tentu saja. Berkali-kali sang Ibu mengingatkan anak itu untuk tidak melakukan hal-hal tersebut, mulai dari dengan suara pelan sampai akhirnya sang Ibu bersuara keras menandakan marah. Terakhir setelah Ibunya marah, si anak malah menangis meraung-raung sambil gelesoran di lantai dan meracau ngga jelas disela-sela tangisnya yang keras itu. Karena sudah ngga tahan, sang Ibu akhirnya memberikan sesuatu kepada si anak tadi – entah apa yang diberi, saya tidak begitu jelas melihatnya. Seketika tangis si anak berhenti, lalu si anak duduk dengan manisnya sambil tertawa-tawa penuh kemenangan memegang benda pemberian Ibu-nya tadi.

Kesimpulan dari kejadian itu (menurut saya) adalah si anak itu bertingkah laku over acting karena ingin menarik perhatian sang Ibu, karena si anak menginginkan sesuatu yang tadinya tidak dikabulkan oleh Ibu-nya, dan hanya dengan menangis meraung-raung lah maka keinginannya akan dikabulkan oleh sang Ibu.

Menyaksikan kejadian tersebut, Mama saya spontan berkata “Aduuuh itu anak bandel bener yaaaa, Mama ngga pernah ngebiasain anak-anaknya kayak gitu. Anak kamu jangan dibiasain nanti!“.

Ho! Saya terpana. Kalimat Mama itu membuat saya berpikir bahwa saya, dengan segala macam sifat saya  seperti sekarang ini, adalah ya bagaimana dulu orang tua saya membentuk saya pada waktu saya masih kecil. Iya, seperti anak kecil itu. Yang berpikir bahwa hanya dengan menangis meraung-raung untuk medapatkan keinginan terkabul, dan selalu berhasil dengan cara seperti itu. It’s all about habit!

Jadi inget kejadian beberapa tahun lalu pada waktu saya baru lulus kuliah. Saya menemani seorang sepupu mengantarkan anaknya yang pada saat itu bersekolah di taman kanak-kanak. Hari itu sedang ada acara peringatan hari Kartini. Semua anak diwajibkan tampil dengan pakaian daerah. Tingkah polah anak-anak itu tentu saja lucu. Tapi bukan itu yang menarik perhatian saya, melainkan dandanan beberapa anak perempuan dengan baju daerahnya yang… sorry to say… lebay!!! Anak-anak itu akan lebih cantik bila dibiarkan polos. Tapi saya melihat beberapa anak perempuan dengan pipi merah, bibir merah, rambut kriwil-kriwil, bahkan ada yang menggunakan bulu mata palsu!!! God!!! Bukannya menampilkan wajah anak-anak yang lucu, anak-anak itu malah terlihat seperti ondel-ondel di mata saya. Sepupu saya, sepertinya paham keterkejutan saya, berbisik di telinga saya “Itu nyokapnya lagi yang ngedandanin… parah ya… hihihihi“.

Saya jadi berpikir, mendidik anak itu ibarat halnya melukis di atas suatu media (apa pun itu) yang masih polos. Bagaimana hasil lukisannya nanti, dan kesan apa yang ingin disampaikan kepada yang melihat, ya itu tergantung dari bagaimana sang pelukis melukiskannya. Bisa jadi suatu karya yang sangat masterpiece, bisa jadi juga hanya terongok di sudut gudang. Hanya saja, melukis secara harafiah ini, kalo hasilnya jelek ya bisa dibuang.

Saya ini tidak pandai melukis. Waktu eSDe, nillai pelajaran menggambar saya tidak pernah lebih dari tujuh.  Bisa menggambar dengan bagus kalau sudah ada contoh gambar sebelumnya.. Apabila  harus mereka-reka gambar sendiri, maka yang bisa saya gambar hanyalah gambar pemandangan dengan dua gunung, sawah dan matahari di sela-sela dua gunung tadi. Kalau pun ada improvisasi di gambar tadi, paling hanya jumlah gunungnya jadi tiga…. gyahahahaha. Sekarang alat bantu melukis sudah banyak banget. Belum lagi alat bantu menggambar secara digital. Ada program paint, photoshop, di OS X ada ComicLife, bahkan untuk yang tidak dapat menggambar tersedia stripgenerator untuk membuat komik seadanya. Kalau ternyata hasil jadinya jelek, tinggal dibuang atau dihapus.  Gampang.

Nah, kalau mendidik anak? Sebagaimana orang tua saya “melukis” saya sejak dari kecil sampai sekarang ini, ya ini lah saya… hasil “lukisan” orang tua saya. Tidak ada satu pun alat bantu melukis disini. Benar-benar menciptakan sendiri. Suka atau tidak dengan hasilnya, tidak dapat dibuang atau dihapus sama sekali. Ngga mungkin juga kan?

*sigh*

Saya ini jadi orang tua baru seumur jagung, baru 25 hari. Masih cetek. Belum lagi, seperti yang sudah saya sebut tadi, saya ini sama sekali tidak pandai – apalagi mahir – menggambar. *melirik Savio yang sedang tidur pulas di samping* Aaaah, meskipun ngga ada photoshop atau stripgenerator, mudah-mudahan saya bisa “melukis” dengan baik dan benar di “kanvas” yang polos dan putih bersih itu.

72 thoughts on “Tentang Melukis”

  1. klo di temen-temen sekitaran saya yang sudah/baru punya anak, kita selalu berpesan ke bapaknya dgn kalimat :” jauhkan anakmu dari orang-orang musryik dan teman-teman bapaknnya” kekekeke

    Like

  2. saya juga herang terkadang org tua zaman sekarang sepertinya ngak begitu peduli dengan anak mereka…….jadinya asal2lan gt.

    anak2 di dandani seperti org dewasa…..diajarin yg ngak2…..waduh..

    moga aja mbak bisa lebih baik dari mereka.
    anak adalah cerminan dari orang tua

    Like

  3. @Epat…

    Santai ajah Bro… Kawan Ayah nya Vio, Cuma tuk konsumsi Pribadi Ayah nya… kalo mo deket2 ada Fit n Proper Test nya… kalo perlu di Sterilisasai dulu !!

    Like

  4. nnaaahhh… jadi begitu ya.. haru birunya pengalaman pertama jadi ibu 🙂
    betul, Vio kecil.. ibarat kertas putih bersih yang siap ditulisi apapun. bagus tidaknya hasil tulisan/lukisan itu akan ditentukan nanti..
    Peran ayah bunda penting banget 🙂 dan semua yang dia ditemui di lingkungannya, cieeehh.
    Semoga Savio jadi anak yang soleh ya Chi.. *senyummm maniieeezzz buat Vio* hyaaa…

    *sarapan dulu.. hummmm*

    Like

  5. yup.. anak itu ibarat kertas putih.. apa yg terjadi pada si anak, itu ya pasti ndak jauh dari ulah ortunya.. 😀

    jadi, jangan sekali-kali bilang: anak setan! anak brengsek! anak kurang ajar! yang secara ndak langsung itu memaki kepada dirinya sendiri.. 😀

    selamat menikmati jadi ibu, mbak.. 😀

    Like

  6. kt org tua sih justru anak bandel itu yg dicari, krn biasanya anak kecil klo bandel itu kreativitasnya banyak.nggak tau bener apa nggak 🙂

    Like

  7. yg kamu tulis ini menegaskan keyakinan manusia sbg “tabula rasa”: kertas putih yg siap dicoret apa saja. saya ndak gitu sreg. itu artinya, kalo anaknya bangor berarti ortu nya yg salah didik dan kalo anaknya baik berarti ortunya yg bener didik. masak, iya, jeng? baik-bangornya saya ndak pernah nyalahin ortu. pengalaman hidup, jika org mau membuka diri padanya, bisa membikin lantak “coretan” apa pun yg pernah dibuat ortunya –kata “coretan” di situ dipake tentu jika pengandaian ttg melukis diterima sepenuhnya.

    *jadi penasaran pengen ngasuh anak. tp males “ngasuh” ibunya, jeng! hehehe….*

    Like

  8. selamat berjuang jadi orang tua yah sis.. 😀 duuh. untung sayah masi lama.. si mamah juga sering ngomong gimana susahnya jadi orang tua biar anaknya udah gede otaknya lurus 😛 gak macem2… yaps.. didikan orang tua emang yang paling pertama disamping apa yang diajarkan di sekolah, masyarakat, delele 😀

    Like

  9. Jangan terlalu dipikirin mbak Chic… biarkan semua mengalir apa adanya… Semua yang ada dalam hati kita, pasti akan tertuang melalui sikap kita pada anak. Apalagi lukisan org tua mbak chic sudah melekat dalm diri, ditambah wawasan berfikir, pendidikan, pasti menghasilkan pola asuh yang lebih baik dan sesuai dengan apa yg ingin mbak lukiskan dalam diri savio…

    Anya anak saya, mengcopy plek-plek apa yg mamanya kerjain, Jadi kita ini sebetulnya Mirroring our self through our kids…

    Aku punya posting ttg list (cita2ku, mendidik anak menjadi )pribadi yg nyenengin 😀

    coba check disini

    Like

  10. Kok saya jadi ingat tulisan saya yang [disini] ya ? 🙂

    Juga puisi Kahlil Gibran : On Children.

    Your children are not your children.
    They are the sons and daughters of Life’s longing for itself.
    They come through you but not from you,
    And though they are with you yet they belong not to you.

    You may give them your love but not your thoughts,
    For they have their own thoughts.
    You may house their bodies but not their souls,
    For their souls dwell in the house of tomorrow,
    which you cannot visit, not even in your dreams.
    You may strive to be like them,
    but seek not to make them like you.
    For life goes not backward nor tarries with yesterday.

    ……

    Hehehe… jadi pengen punya anak. 🙂

    *nikah aja belum*

    Like

  11. Yg repot, di jaman skrg ini seringkali lingkungan jauh lebih berpengaruh dibanding suasana yg dibangun ortu. Apalagi si anak jg dicekokin berbagai macam nilai yg ga jelas dr media massa terutama tipi. Jadi ortu jaman skrg jauh lebih berat ktimbang dulu.

    So, met jadi ibu yg baik ya 🙂

    Like

  12. Eitt, jangan “dilukis” sembarang lho…!! tapi, semoga dan biarkan ajah “tangan-tangan malaikat” yang melukis “kanvas” yang masih suci itu….Tantangannya : TERLALU BANYAK tangan yang ingin melukis di “kanvas” itu, TANGGUNG JAWAB orang tua siapa saja yang ia bolehkan untuk melukis di sana…

    Hhmmmmmmmmm…aku juga korban lukisan, tapi kira2 gambar apa yah yang muncul di kanvasku chic ??!!

    Like

  13. salam kenal,
    Salam Budaya,
    Sebelumnya perkenankanlah kami memperkenalkan diri. Kami adalah MAHAGENTA, sebuah kelompok musik tradisi bernuansa nusantara.

    Berangkat dari rasa cinta dan bangga terhadap nilai-nilai budaya bangsa sendiri, kami berkarya melalui alat musik modern yang dipadukan dengan alat musik tradisional.
    Untuk itu kami membuka diri bagi kemungkinan pementasan karya-karya kami berkaitan dengan proses penggalian kami terhadap khasanah budaya yang pada akhirnya bertujuan untuk melestarikan musik dan alat musik tradisional.
    . Namun kali ini kami akan mementaskan karya Fenomenal Jhon Webber yaitu PHANTOM OF THE TRADITIONAL OPERA yang dikemas dengan alat tradisi dan vocal tradisi.
    Pagelaran Musik Tuggal mahagenta ini akan di laksanakan pada tanggal 3 juli 2008di Graha Bhakti Budaya TIM pukul 20.00 Wib. Dimana nantinya akan ada pameran-pameran alat tradisional dan lain sebagainya.

    Like

  14. yep bener bgt tuh mba….
    kita yg nantinya akan mengisi buku catatan sang anak dgn warna warni tinta dasar yg kita pilihkan..
    tinggal bagaimana si anak selanjutnya ingin meneruskan warna yg mana 😉

    Like

  15. hmm,,,,
    bener sih, di keluarga gw, antara gw ma ade2 gw klakuannya beda2. loh ko bisa?? bukannya pelukisnya sama???

    karakter tiap anak beda, dan kondisi pas lagi ngelukis juga beda. jadi hasil akhir lukisan tergantung dari bahan dasarnya sendiri, dan kondisi dari si pelukisnya saat melukis.

    waduh,,, kok jadi kyk bapak tino sidin gw, padahal pelajarn ngelukis gw jelek 😛

    Like

  16. ketika sekolah dulu, saya nggak suka pelajaran melukis. kenapa? karena coretan saya nggak nyeni.

    tapi sekarang saya suka “melukis” di Anya. semoga hasil lukisan saya ini menghasilkan anak yang punya karakter, cerdas, murah senyum dan sayang kepada semua orang. doain ya…

    Like

  17. Halo Ibu muda 🙂
    Kalo menurut saya sih, asal diajarin plus dicontohin yang baik (bukan ngajarin doank..), pasti hasil ‘lukisan’ pada anak juga akan baik…

    Oh ya, satu hal yang saya amati dari beberapa contoh kasus di keluarga dan sodara-sodara, bagus tidaknya lukisan itu ternyata memang lebih condong ditentukan oleh pelukis utama i.e. ‘sang Ibu’ daripada partnernya 🙂

    Like

  18. Salam
    Tuh anak kayaknya tantrum, rewelnya jadi senjata agar dikabulkan keinginannya, duh bener deh jangan dibiasain, jadi ortu mesti tegas, tetep anak perlu batasan dan ortu yang pegang kendali 🙂
    numpang OOT: he..he.. melukis ya bukannya meluk and kiss 😀 *ditimpuk chic*

    Like

  19. melukis itu olah jiwa dan olah hati. Melukis dalam konteks tertentu juga disebut menggambar. Kalo gitu savio digambar aja mbak. Digambar dalam arti sesungguhnya *acungkan tangan*

    Like

  20. Jadi inget kejadian beberapa tahun lalu pada waktu saya baru lulus kuliah. Saya menemani seorang sepupu mengantarkan anaknya yang pada saat itu bersekolah di taman kanak-kanak. Hari itu sedang ada acara peringatan hari Kartini. Semua anak diwajibkan tampil dengan pakaian daerah. Tingkah polah anak-anak itu tentu saja lucu. Tapi bukan itu yang menarik perhatian saya, melainkan dandanan beberapa anak perempuan dengan baju daerahnya yang… sorry to say… lebay!!! Anak-anak itu akan lebih cantik bila dibiarkan polos. Tapi saya melihat beberapa anak perempuan dengan pipi merah, bibir merah, rambut kriwil-kriwil, bahkan ada yang menggunakan bulu mata palsu!!! God!!! Bukannya menampilkan wajah anak-anak yang lucu, anak-anak itu malah terlihat seperti ondel-ondel di mata saya. Sepupu saya, sepertinya paham keterkejutan saya, berbisik di telinga saya “Itu nyokapnya lagi yang ngedandanin… parah ya… hihihihi“.

    Ha ha ha…
    Ndak sopan 😛

    Like

  21. walo baru 25 hari…tpi…wuih.. pemikiran ibu banget… smoga bukann hanya melukis SAVIO dengan indah… tapi juga bisa mengukir hatinya SAVIO dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur… amiin…. hiks…hiks… sorry bu… sorry klo masenchipz sok dewasa ya…..

    Like

  22. 25 terakhir setiap kali membaca tulisan diblog ini, ada rasa cemburu …. sepertinya chic memang orang yang paling bahagia didunia ini yah, Alhamdulillah 🙂

    Like

  23. humm setuju mbak … btw kalo bisa sih adal landasan yang mantap sebelum melukis anak … meski kita mau membiasakan anak ttapi jika kita sendiri masih tidak seperti apa yang kita lukiskan kepada anak maka akan timbul pertanyaan ..

    seperti seorang anak dibiasakan pake jilbab dari kecil, tetapi ibunya sendiri tidak pernah pakai jilbab .. nah ini apa benar ..?? 🙂

    so seorang anak biasanya tidak jauh dari ortunya … jadi kalo mau anak kita baik usahakan diri kita baik dulu … n’ banyak berdoa dan berharap semoga dimudahkan ALLAH anak kita menjadi anak yang baik sholeh/sholehah dan ta’at .. 🙂

    Like

  24. mudah2an ortu bisa baik dalam “melukis” anaknya dan bisa memfilter anak dari lingkungan yang gak bagus bagi perkembangannya…
    🙂

    Like

  25. salam kenal,
    merealisasikan apa yg kita pikirkan atau liat
    dengan titik, garis bentuk, bahkan warna mungkin melukis jg kali ya…..
    menurut saya lo….
    salam kenal semuanya ya………

    Like

  26. Melukis itu, kata orang adalah panggilan jiwa, kita bahkan bisa menebak seseorang melalui lukisannya,

    kecuali, Ibu2 yang melukis anak-anaknya yang kata kamu mirip ondel-ondel itu.

    jangan lupa mampir ya ke blog ku , makasih

    Like

  27. “Menurut Wikipedia, Melukis adalah kegiatan mengolah medium dua dimensi atau permukaan dari objek tiga dimensi untuk mendapat kesan tertentu. Medium lukisan bisa berbentuk apa saja, seperti kanvas, kertas, papan, dan bahkan film di dalam fotografi bisa dianggap sebagai media lukisan. Alat yang digunakan juga bisa bermacam-macam, dengan syarat bisa memberikan imaji tertentu kepada media yang digunakan.”

    Melukis dan Menggambar ada bedanya?

    Like

Leave a comment