Brainstroming ajah!

Kelaparan di Negeri (yang katanya) Agraris ini…

Pagi ini, ketika menelfon ke salah satu rumah saudara menanyakan sesuatu, seorang keponakan dengan semangat riang gembira bercerita bahwa dia (dan sejumlah teman-temannya) kemaren berhasil ngerjain seorang teman yang sedang berulang tahun dengan mengikatnya di tiang bendera di lapangan sekolahnya dan melempari temannya itu dengan 2 kilo telur, satu kantong tepung terigu, ditambah minyak goreng dan sebotol kecap. Keponakan saya itu umurnya sudah 16 tahun, bersekolah satu sekolah swasta elit nan kapitalis yang masuknya aja sama dengan biaya saya sampai lulus kuliah S2.

Saya miris mendengarnya. Tidak tahu kah dia bahwa di bagian Indonesia sebelah sana ada ibu hamil dan dua orang anaknya yang lain meninggal karena kelaparan, bahwa di bagian Indonesia lainnya ada yang kekurangan gizi alias menderita gizi buruk karena susah makan, atau – apabila lokasi-lokasi tersebut terlalu jauh untuk sampai di telinganya – di perkampungan belakang rumahnya itu banyak warga yang rela ngantri berjam-jam hanya untuk mendapatkan sekian liter minyak tanah untuk memasak.

 

 

Ketika hal itu saya sampaikan kepada keponakan saya, dia dengan cepat menjawab “ah tante payah, jadul! boleh kan bersenang-senang… lagian itu kan urusannya pemerintah bukan urusan aku“. Tidak adakah cara bersenang-senang yang lain? Mengamati dan mengingat-ingat tingkah polah keponakan-keponakan lain (dan teman-temannya) yang mulai beranjak abegeh itu, saya lihat yang mereka tau hanya lah gimana caranya keluar rumah dengan alasan pergi ke kampus atau sekolah, kemudian bagaimana caranya bersenang-senang dan hura-hura setelah itu dengan tanpa beban. Ngga mikir duitnya (karena tinggal minta) atau ngga mikir kalo nyari duit tuh susah!

Apa yang salah ya???

Well, kelaparan itu memang tragis karena terjadi di negeri yang katanya agraris ini. Mengutip berita disini mengenai kejadian kelaparan itu:

Kusuma Wardani, ahli gizi Dinas Kesehatan Makassar, mengakui tewasnya Besse serta anaknya karena kelaparan sebagai preseden buruk. “Masalah kelaparan ini bukan hanya departemen kesehatan saja yang menanganinya, tetapi ada beberapa instansi terkait,” kata dia. Yang pasti, kondisi ini sangat ironis dengan predikat Sulawesi Selatan sebagai lumbung pangan.

Ayo lah, saya yakin masih banyak yang peduli, termasuk bagaimana caranya mengajak abegeh-abegeh hedonis itu lebih peduli dengan issue disekitarnya.

banner-kelaparan.png

Tulisan Chika membuat saya ingin ikut serta dalam kampanye anti kelaparan. Disitu ada ajakan menyumbang ala kadarnya untuk program kampanye tersebut. Juga tulisan-tulisan terkait tentang itu. Silahkan dilihat.

Dan memang ini saatnya kita untuk lebih peduli.

36 thoughts on “Kelaparan di Negeri (yang katanya) Agraris ini…”

  1. waduh…saya waktu SMA dulu gitu. suka ngelemparin temen yang ultah entah pake air aja, teh manis, blau (untuk cuci baju) atau kadang fanta.. 😐

    tapi dulu harganya ga semahal sekarang. hhhmmm…berarti awalnya juga karena tradisi turun menurun ya. kayaknya tradisi seperti ini harus diputuskan. 🙄

    *tobat*

    btw 2 kilo telur? 😯 1 kantong tepung terigu?? 😯 minyak goreng dan sebotol kecap?? 😯

    wah itu sih kanibalisme. berarti yang ulang tahun mau dimasak tuh… 😆

    ah…makasih chichi udah bikin postingan ini. ^^

    Like

  2. aku pikir si keponakan akan susah nerima teguran soal gaya hidupnya. karena teguran secara lisan itu cenderung memojokkan dia pada posisi ‘salah’ dan menyenggol gengsinya.

    kalo ada kesempatan, besok boleh dicoba lagi pendekatan lain: ngasih contoh ikut mbantu orang susah, ato sekalian ngajak si keponakan ikut mbantu pisan. udah tested pd sejumlah orang di sekitar sini 😉

    makasih banyak ikutan nulis tentang topik ini, semoga sukses dg kampanye anti kelaparan 🙂

    Like

  3. tapi katanya untuk kasus makassar,
    si kepala keluarga lebih memilih membeli minuman keras ketimbang membeli kebutuhan pokok untuk keluarga..

    kelaparan, kesenjangan sosial yang nyata didepan kita..

    Like

  4. Cobae kalau keponakannya Mbak itu anake Petani. Musti dia lebih insyaf. Tapi yaitu, Karena keponakane Mbak bukan anak petani dia ga pernah mimpi untuk jadi petani (anak petani di desa mana bisa hura-hura ala kota). Mimpinya (keponakan Mbak) adalah kerja di kantoran Pakai dasi atau blazer. Kemudian mampir clubbing selepas ngantor.
    aaghh.. tak seorang pun dinegri ini yang bercita-cita jadi petani. aku pun juga tidak.
    halah.. agak2 OOT ya? 🙂

    Like

  5. batas antara kelaparan dan kebahagiaan di negeri ini (memang) semakin tipis……
    Terus semangat mengingatkan keponakannya, “tante jadul”…

    Like

  6. Indonesia negara Agraris? itu sudah pasti.

    Bukti :
    saat lahan pertanian berkurang, rakyat Indonesia masih suka membajak…DVD,VCD,de el..hehehe..

    Liat dari sisi lain…kelaparan bukan kekurangan makanan tapi kebanyakan manusia…MANA KB yang diagung-agungkan dari dulu?

    udahlah vasektomi aja pria-pria indonesia termasuk saya…

    Like

  7. lucu memang. kita masih dihadapkan pada kenyataan paradoks. negeri kaya tapi banyak kelaparan. berlogo nurani, tapi berperangai drakula. Berdalil ayat dg fasih, tapi menghunus pedang ingin membunuh.

    Tidak perlu jauh-jauh, memberi uang orang miskin di halte bus way di kopaja-kopaja cuma Rp.500 perak aja mikirnya seribu keliling baru mau ngasih…

    Suatu ketika saya punya pengalaman dari Plaza Senayan mau pulang ke Manggarai, seorang perempuan compang-camping menggendong anaknya sambil berdiri. Saking capeknya, dia minta tempat duduk, tp orng yang dimintai enggan memberi. Si ibu malang itu pun nyeletuk “kasih tmpt duduk saja susah, apalagi ngasih uang ?” RUARR BIASA MEMANG..!!.

    jangan salahkan keponakan, tapi ada sistem yang mengosntruk cara pandang mereka. jangankan anak abegeh-abegeh, para aktivis — mahasiswa — saja sekarang sudah hedon dan acuh melihat itu…
    btw, SALAM KENAL AJA..

    Like

  8. @HILMAN
    wuaaaah.. komennya sangat inspiratif… memang harus dimulai dari hal-hal kecil terlebih dahulu untuk melakukan sesuatu yang lebih besar…

    terima kasih Pak Hilman untuk komennya, terima kasih juga sudah mampir…

    Like

  9. Sungguh prihatin atas hal ini. Kita memang harus lebih mensyukuri apa yang ada pada kita saat ini, dan lebih memikirkan orang lain yang tidak seberuntung mereka. Tidak hanya memikirkan saja, tapi juga membantu mereka. Minimal, jangan foya-foya lah. Bayangkan kalau kita jadi mereka (kekurangan), dan melihat orang di sekitar kita tidak membantu kita, malah berfoya-foya… Apakah harta kita perlu diambil dulu sama Tuhan untuk mensyukurinya? Jangan sampai kan…

    ~btw, salam kenal ya… 😀

    Like

  10. Saya rasa bukan karena tepung adik anda negara AGRARIS ini menjadi miskin, hehehe masih panjang kalo di telusuri.

    salam.

    Like

  11. MARI KITA BUAT PETANI TERSENYUM KETIKA DATANG PANEN
    Petani kita sudah terlanjur memiliki mainset bahwa untuk menghasilkan produk-produk pertanian berarti harus gunakan pupuk dan pestisida kimia. NPK yang terdiri dari Urea, TSP dan KCL serta pestisida kimia pengendali hama sudah merupakan kebutuhan rutin para petani kita.
    Produk ini dikenalkan oleh pemerintah saat itu sejak tahun 1969 karena berdasarkan penelitin bahwa tanah kita yang sangat subur ini ternyata kekurangan unsur hara makro (NPK). Setelah +/- 5 tahun dikenalkan dan terlihat peningkatan hasilnya, maka barulah para petani mengikuti cara tanam yang dianjurkan pemerintah tersebut. Produk hasil pertanian mencapai puncaknya pada tahun 1985-an pada saat Indonesia swasembada pangan. Petani kita secara turun temurun beranggapan bahwa yang meningkatkan produksi pertanian mereka adalah Urea, TSP dan KCL, mereka lupa bahwa tanah kita juga butuh unsure hara mikro yang pada umumnya terdapat dalam pupuk kandang atau pupuk hijau yang ada disekitar kita.
    Mereka para petani juga lupa, bahwa penggunaan pupuk dan pengendali hama kimia yang tidak terkendali, sangat merusak lingkungan dan terutama tanah pertanian mereka semakin tidak subur, keras dan hasilnya dari tahun ketahun terus menurun.
    Tawaran solusi terbaik untuk para petani Indonesia agar mereka bisa tersenyum ketika panen, maka tidak ada jalan lain, perbaiki sistem pertanian mereka.
    Metode SRI yang sedang digencarkan oleh SBY belum mendapat respon positif dari para petani kita, karena walaupun hasilnya sangat menjanjikan, tetapi sangat merepotkan petani dalam budidayanya. Petani kita karena sudah terlanjur termanjakan oleh olah lahan yang praktis dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia, sangat berat menerima metoda SRI ini.
    Mungkin solusi ini dapat diterima oleh para petani kita; yaitu “BERTANI DENGAN POLA GABUNGAN SISTEM SRI DIPADUKAN DENGAN PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK NASA”. Cara gabungan ini hasilnya tetap PADI ORGANIK seperti yang dikehendaki oleh pola SRI, tetapi cara pengolahan lahan/tanah sawahnya lebih praktis, dan hasilnya bisa meningkat 60% — 200% dibanding pola tanam sekarang.
    Semoga petani kita bisa tersenyum ketika datang musim panen.
    AYOOO PARA PETANI, SIAPA YANG AKAN MEMULAI?
    KALAU TIDAK KITA SIAPA LAGI?
    KALAU BUKAN SEKARANG KAPAN LAGI?
    omyosa,
    papa_260001527@yahoo.co.id

    Like

  12. “Tidak tahu kah dia bahwa di bagian Indonesia sebelah sana ada ibu hamil dan dua orang anaknya yang lain meninggal karena kelaparan, bahwa di bagian Indonesia lainnya ada yang kekurangan gizi alias menderita gizi buruk karena susah makan”

    Dan sudah tahukah anda bahwa di Indonesia masih banyak orang-orang yang kenyang tapi lapar?

    Like

Leave a comment